PALEMBANG – Sertifikat vaksinasi Covid 19 yang belakangan ini semakin marak, dan seiring dengan kebijakan pemerintah menyatakan vaksinasi sebagai salah satu syarat perjalanan.
Usaha percetakan kartu vaksin menjadi sorotan, karena di khawatirkan akan rentan praktek pembocoran data pribadi.
Menyikapi kondisi tersebut, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumsel merasa prihatin, bahkan dirinya menilai kurangnya sosialisasi dari pemerintah dalam penggunaan sertifikat kartu vaksin Covid-19 tersebut.
Karena saat ini masyarakat masih beranggapan yang seolah-olah kegunaan sertifikat vaksin itu adalah untuk syarat administrasi dalam bertransaksi.
“Seperti melakukan transaksi masuk mall, naik pesawat terbang, kapal laut. Ini berpotensi bagi oknum untuk menyalahgunakan sertifikat vaksin itu,” kata Ketua YLKI Sumsel, RM Taufik Husni, Kamis (19/8/2021).
Ditambahkan Taufik, Pemerintah Pusat melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) telah melakukan pemblokiran sebanyak 2400 kepada usaha cetak perdagangan.
“Itu tidak cukup, ketika sosialisasi ini tidak dilakukan, karena akan berpotensi kebocoran maupun penyalahgunaan data best yang ada di dalam sertifikat vaksin itu, seperti mengarah kepada tindak kejahatan pinjaman online, pemalsuan KTP, atau penyalahgunaan data siber lainnya,” ungkapnya.
Selain pemblokiran 2400 kepada usaha cetak perdagangan, dirinya juga meminta pemerintah agar segera melakukan sosialisasi atau pemblokiran kepada usaha percetakan lain, bahkan melakukan pengawasan langsung kepada penyalur sertifikat vaksin, hal itu agar tidak terjadi kebocoran data konsumen.
“Pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintah itu sedikit sekali cuma 2400, sementara masyarakat Indonesia ada 275 juta jiwa, dan vaksin juga masih banyak, masih lebih kurang 80 juta. Artinya masih banyak potensi kebocoran data pribadi,” bebernya.
Dirinya juga berharap, agar pemerintah bekerjasama melakukan kegiatan sosialisasi sampai ke tingkat bawah. Tujuannya supaya masyarakat tidak melakukan percetakan sertifikat vaksin sendiri.
“Jadi sebaiknya masyarakat apabila sudah melakukan vaksin cukup dalam bentuk digital saja, dan kalau mau cetak cukup cetak sendiri. Jadi tidak usah ngupah atau minta cetakan kepada jasa percetakan,” katanya.
Hal itu untuk meminimalisir kebocoran data, karena semua usaha percetakan mulai dari besar sampai kecil tentu akan melihat peluang besar, karena masyarakat tidak mau capek.
“Jadi ketika ada pertanyaan atau pemeriksaan terhadap kartu vaksin, mereka akan menunjukkan kartu seperti KTP. Ini potensi sangat besar ketika barcode diambil atau NIK nya dapat bocor kepada pihak yang tidak bertanggung jawab,” terangnya.
Semua perbuatan itu, menurut Taufik adalah sebuah pelanggaran terhadap hak konsumen. Karena di dalam pasal 4 hak konsumen dilindungi oleh undang-undang atas hak privasi atau kegunaan, dan itu mutlak tidak bisa di gunakan oleh orang lain.
“Itu perbuatan yang dilarang oleh para pelaku usaha dalam hal ini di pasal 42 bahwa ada sangsi pidana di UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa pidana penjara 5 tahun atau denda Rp 2 Miliyar. Itu apabila ketahuan terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap penyalahgunaan atau kebocoran NIK yang ada di dalam barcode itu,” terangnya.