Sri Lanka Krisis Ekonomi, Pemerintah Sita Bahan Pangan

HALOPOS.ID – Pemerintah Sri Lanka mengumumkan darurat krisis ekonomi yang memaksa pihak berwenang sewaktu-waktu dapat menyita stok makanan pokok serta menetapkan harga tertinggi, demi menahan inflasi karena krisis valuta asing.

Hal itu ditempuh untuk mengamankan pasokan bahan makanan, seperti gula dan beras dengan harga yang wajar.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat di bawah peraturan keamanan publik pada pekan lalu.

Pemerintah menunjuk seorang mantan jenderal angkatan darat sebagai komisaris layanan penting, yang akan menyita stok makanan dari pedagang serta pengecer, lalu menentukan harganya.

“Petugas yang berwenang akan dapat mengambil upaya-upaya untuk menyediakan bahan makanan penting dengan harga murah kepada masyarakat, dengan membeli stok bahan makanan penting termasuk padi, beras dan gula,” jelas pernyataan resmi media kepresidenan Sri Lanka, dikutip Reuters, Rabu (1/9) lalu.

“Barang-barang tersebut akan dibanderol dengan harga yang dijamin pemerintah atau berdasarkan nilai bea cukai barang impor untuk mencegah perbedaan (harga) pasar,” lanjut pernyataan itu.

Usai pengumuman itu, pemerintah mulai menyita stok gula dan beras dari gudang-gudang. Mereka akan melepasnya di pasar terbuka dengan harga yang sudah

“Pemerintah telah melakukan lebih dari 1.000 penggerebekan selama beberapa pekan terakhir untuk menyita stok bahan dari gudang di seluruh negeri,” terang Menteri Layanan Koperasi, Lasantha Alagiyawanna.

Ia juga mengatakan pemerintah mulai menetapkan harga eceran maksimum untuk beras dan gula pada hari Kamis (2/9).

Meski begitu, pemerintah setempat menampik terjadi krisis pangan. “Pengendalian harga sangat penting saat ini. Tapi kami berharap tidak dalam jangka panjang. Kami tidak melihat kekurangan pangan di negara ini,” imbuh Alagiyawanna kepada media.

Pemerintah justru mengatakan menerima laporan bahwa pedagang menimbun bahan makanan pokok, seperti padi, beras dan gula dalam jumlah besar, dengan tujuan dijual lagi dengan harga lebih tinggi.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Sri Lanka mengajukan undang-undang baru kepada parlemen yang diklaim akan melindungi konsumen dan menjerat para pedagang yang bersalah.

Sementara itu, pemilik toko khawatir tindakan yang lebih ketat akan berdampak tidak adil terhadap mereka.

“Kami menjual dengan harga yang diberikan pedagang grosir. Pemilik toko kecil juga harus mencari nafkah dan harga kami diperas, sehingga kami hampir tidak punya apa-apa,” kata pemilik toko kelontong W.A. Jayasekera.

Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi hingga krisis pangan. Pandemi Covid-19 disebut turut memperburuk kondisi negara ini.

Sejak awal pandemi covid-19, Sri Lanka membatasi impor sebagian barang yang dianggap tidak penting, serta beberapa barang pertanian demi menekan pengeluaran.

Tahun ini, mata uang Sri Lanka jatuh hingga 7,5 persen, sementara cadangan devisa anjlok menjadi US$ 2,8 miliar pada Juli lalu. Padahal pada November 2018, mencapai US$7,5 miliar.

Di samping itu, Sri Lanka juga menghadapi krisis pembayaran utang besar-besaran. Departemen Sensus dan Statistik Sri Lanka mengatakan kenaikan nilai tukar mata uang asing menjadi salah satu alasan di balik kenaikan harga banyak barang penting selama satu tahun terakhir.

Inflasi di bulan Agustus naik menjadi 6 persen, dari bulan sebelumnya yang hanya 5,7 persen. Kenaikan itu disebabkan harga pangan yang tinggi.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *