Upah Tahun Depan Jadi Naik 13%? Begini Peluangnya

Massa buruh dari Partai Buruh menggelar aksi di depan Patung kuda, Jakarta, Rabu, (12/10/2022).
Massa buruh dari Partai Buruh menggelar aksi di depan Patung kuda, Jakarta, Rabu, (12/10/2022).

HALOPOS.ID|JAKARTA – Buruh menuntut kenaikan upah tahun 2023 sebesar 13%. Pengusaha pun mempertanyakan dasar tuntutan buruh tersebut.

“Kenaikan UMP tahun 2023 ditetapkan tahun 2022, mengacu inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Kita lihat sejauh mana inflasi atau ekonomi kita, itu yang dijadikan dalam satu formulasi,” kata Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional Adi Mahfudz Wuhadji dikutip, Kamis (13/10/2022).

“Ada pun demo buruh hari ini menuntut kenaikan 13%, itu dasar asumsinya dari mana, perlu dipertanyakan. Dan, yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan ditambahkan,” tambah Adi Mahfudz.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan tertulis meminta kenaikan upah minimum tahun 2023 sebesar 13%. Tuntutan itu mengacu pada ekspektasi inflasi tahun 2023 sebesar 7-8% dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,8%.

Jika dijumlah, kedua angka itu total 11,8%. KSPI, kata Iqbal, meminta kenaikan dengan pembulatan angka itu menjadi 13%.

“Saat ini, kita masih menunggu data konfirmasi dari BPS dan surat dari Menteri Tenaga Kerja yang akan disampaikan kepada kami, Dewan Pengupahan Nasional, pada 7 November 2022,” jelasnya.

“Selanjutnya, ditetapkan dengan formulasi upah minimum. Untuk penetapan upah minimum provinsi itu tanggal 21 November 2022 dan upah minimum kabupaten/kota tanggal 30 November 2022, untuk tahun 2023,” tambahnya.

Adi Mahfudz menambahkan, pengusaha akan mematuhi ketentuan yang ada dalam regulasi pengupahan. Toh, imbuh dia, di dalam Dewan Pengupahan, mencakup tripartit, yaitu pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah. Juga di dalamnya ada unsur akademis.

“Penetapan upah minimum mengacu pada PP No 36/2021 tentang Pengupahan. Itu perlu ditaati bersama. Formulasi penetapan harus mengacu kondisi ekonomi saat ini atau variable ketenagakerjaan,” kata Adi Mahfudz.

“Termasuk, kemampuan konsumsi dan daya beli pekerja/ buruh. Sejauh mana penyerapan tenaga kerja, hingga median upah. Dengan begitu, tidak ada kesenjangan. Karena kita bicara Indonesia,” tambah Adi Mahfudz yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Ketenagakerjaan.

Karena itu, lanjutnya, Dewan Tripartit (Dewan Pengupahan) ada untuk memutuskan bersama. Unsur pengusaha, lanjutnya, mengajak buruh memberikan masukan soal penetapan upah yang benar-benar sesuai.

Di sisi lain, dia berharap, buruh juga melihat kondisi saat ini. Dia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan ekonomi tahun 2023 terancam ‘gelap’.

“Inflasi dan ekonomi belum menentu. Cuma, Indonesia memang masih beruntung dengan inflasi yang masih baik,” katanya.

senada disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman.

“Kita perlu sama-sama mengatasi pemulihan ekonomi. Pelaku usaha memahami kenaikan biaya hidup. Namun perlu kebersamaan dalam mengatasinya. Bila terlalu besar kenaikan, banyak perusahaan tidak berkelanjutan. Dikhawatirkan akan banyak PHK,” kata Adhi dikutip Kamis (13/10/2022).

Apalagi, dia menambahkan, tuntutan kenaikan 13% tidak sesuai dengan ketentuan berlaku.

“Tidak (kenaikan 13% tidak sesuai aturan). Ada rumusnya, ikuti aturan saja,” pungkas Adhi.

Seperti diketahui, penentuan upah minimum kini mengacu pada PP No 36/2021, tepatnya pada Bab V. Di mana Bagian Kesatu pasal 23 mendefinisikan upah minimum sebagai upah bulanan terendah, yaitu tanpa tunjangan atau upah pokok dan tunjangan tetap.

“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum,” demikian bunyi pasal 23 ayat (3) PP No 36/2021.

Upah minimum tersebut berlaku bagi pekerja/ buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun di perusahaan bersangkutan, dan untuk yang lebih dari 1 tahun berpedoman pada struktur dan skala upah.

“Upah minimum terdiri atas (a) upah minimum provinsi (UMP) dan (b) upah minimum kabupaten/ kota dengan syarat tertentu,” bunyi pasal 25 ayat (1).

Sementara, ayat (2) dan (3) menetapkan, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, secara khusus untuk huruf (b) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/ kota yang bersangkutan.

“Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dimaksud pada ayat (2) meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik,” pasal 25 ayat (4-5) PP No 36/2021.

Jika mengacu ketentuan tersebut, formula pengupahan diantaranya menggunakan komponen pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan total dari kedua indikator ekonomi tersebut.