HALOPOS.ID|JAKARTA – Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah mengubah dunia. Setelah pandemi sedikit mereda, masalah tidak selesai begitu saja.
Ketika kasus positif corona di berbagai negara mulai melandai, pemerintah pun melonggarkan pembatasan sosial (social distancing). Aktivitas dan mobilitas masyarakat naik, permintaan barang dan jasa melonjak.
Namun di sisi lain, pasokan belum bisa mengikuti. Dunia usaha belum pulih betul, masih ‘berdarah-darah’ akibat pukulan pandemi selama setahun terakhir.
Saat permintaan mulai meningkat, dunia usaha tidak bisa begitu saja menambah kapasitas produksi. Ini tercermin dari data aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) keluaran IHS Markit.
Pada Oktober 2021, PMI manufaktur global tercatat 54,3. Hanya naik tipis 0,2 poin dibandingkan bulan sebelumnya, pertanda ekspansi produksi belum bisa digenjot.
“Ekspansi industri manufaktur dunia berada di laju terlemah selama fase peningkatan dalam 16 bulan terakhir. Output industri terkendala oleh gangguan pasokan bahan baku yang menyebabkan kelangkaan, kenaikan biaya produksi, dan nyaris melumpuhkan arus perdagangan internasional,” sebut laporan IHS Markit.
Soal arus perdagangan global yang mampet, IHS Markit tidak main-main. Per 17 November 2021, Baltic Dry Index (yang mengukur geliat arus perdagangan dunia) berada di 2.430. Ini adalah yang terendah sejak 8 Juni 2021, menandakan arus perdagangan sedang sangat lemah.
Belum lagi ada masalah baru yakni krisis energi dunia. Kenaikan harga komoditas energi mulai dari batu bara, gas alam, hingga minyak bumi menambah beban biaya produksi.
Mahalnya harga batu bara sempat memukul China, negara eksportir terbesar dunia. Batu bara menyumbang sekitar 60% dari sumber energi primer pembangkit listrik di China.
Saat pasokan batu bara langka dan harganya mahal, kondisi kelistrikan di Negeri Tirai Bambu sempat bermasalah. Pemerintah terpaksa melakukan pemadaman listrik bergilir. Byar pet seperti ini tentu membuat produksi semakin terkendala.
Nah, lonjakan permintaan saat pasokan masih lemah ini menyebabkan tekanan inflasi. Berbagai negara kini menghadapi angka inflasi yang tinggi, bahkan ada yang sampai mengukir rekor baru.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, laju inflasi pada Oktober 2021 adalah 6,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak Oktober 1990, lebih dari 30 tahun.
Indonesia pun tidak imun dengan masalah ini. Meski tidak separah AS, ada gejala laju inflasi Tanah Air mulai terakselerasi.
Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) hingga pekan II memperkirakan inflasi November 2021 sebesar 0,25% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jika terwujud, maka menjadi yang tertinggi sejak Mei 2021.
Oleh karena itu, wajar jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) resah. Menurutnya, gangguan rantai pasok (supply chain) ini menjadi masalah baru yang menghantui dunia usai pandemi virus corona.
“Bingungnya negara-negara sekarang ini berkaitan dengan global supply chain dan ketergantungan kita pada satu, dua, tiga negara. Juga kesulitan kontainer, hampir semua ini karena disrupsi yang memang mengacaukan dan kompleksitasnya tambah, semakin bertambah,” tegas Kepala Negara.