Sindiran Keras Sekolah: Jangan Sibuk Pamer Prestasi Saat Murid Tersakiti

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Palembang, Ahmad Zulinto,
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Palembang, Ahmad Zulinto,

HALOPOS.ID|PALEMBANG – Gelombang kasus perundungan di lingkungan sekolah kembali menampar wajah dunia pendidikan. Video kekerasan antar pelajar hingga murid yang berani melawan guru kini berseliweran di media sosial, membuka luka lama: sekolah yang seharusnya menjadi taman ilmu, malah berubah menjadi ladang trauma.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Palembang, Ahmad Zulinto, dengan nada tajam menyindir keras lembaga pendidikan yang terlalu sibuk mengejar prestasi akademik, namun menutup mata terhadap perilaku dan kondisi psikologis siswanya.

“Jangan sampai guru hanya jadi pengajar yang sibuk memberi nilai, tapi buta terhadap luka batin muridnya. Pengawasan harus diperketat—dari guru BK, wali kelas, hingga kepala sekolah. Jangan menunggu tragedi baru bereaksi,” tegas Zulinto saat ditemui di Palembang, Jumat (17/10/2025).

Zulinto menyebut, maraknya perundungan di sekolah adalah cermin kegagalan sistem pengawasan pendidikan. Guru, katanya, sering dibiarkan berjuang sendirian menghadapi perilaku siswa yang semakin kompleks, tanpa dukungan nyata dari kebijakan yang berpihak pada keamanan anak.

“Sekolah harus kembali ke marwahnya — mencetak manusia beradab, bukan sekadar mencetak nilai di atas kertas. Lingkungan belajar yang aman adalah hak setiap anak. Kalau sekolah gagal menjamin itu, berarti ada yang salah dalam sistem kita,” ujarnya lantang.

Seruannya menjadi tamparan keras bagi sekolah-sekolah yang masih bersembunyi di balik slogan-slogan indah tentang “pendidikan karakter”, padahal di lapangan, siswa dibiarkan menjadi korban kekerasan verbal, fisik, bahkan sosial.

Zulinto mengingatkan, di tengah era digital seperti saat ini, setiap kasus perundungan dapat viral dalam hitungan detik. Reputasi sekolah bisa hancur seketika—dan lebih parah lagi, masa depan anak bisa ikut terkubur.

“Kita tidak sedang menghadapi sekadar masalah disiplin, tapi krisis empati. Jika sekolah sudah kehilangan rasa, apa lagi yang bisa kita harapkan dari dunia pendidikan?” pungkas Zulinto menohok.

Kini, sorotan publik tertuju pada langkah nyata lembaga pendidikan. Akankah sekolah benar-benar berbenah, atau kembali bungkam hingga perundungan berikutnya kembali memakan korban,”pungkasnya