HALOPOS.ID|DIY – Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan urgensi membangun budaya yang visioner melalui konsep Kebudayaan Indonesia Baru.
Sebuah gagasan merangkai akar tradisi dengan energi pembaruan untuk masa depan bangsa serta sebuah visi memadukan kearifan lokal dengan dinamika zaman demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan konsep tersebut maka harus menggali, mengkaji serta merevitalisasi Semangat Nusantara.
“Dalam benak saya, Kebudayaan
Indonesia Baru adalah pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya dari generasi ke generasi. Semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai yang mengalir di pembuluh darah masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya etnik dan masyarakat adat, hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas,” kata Sri Sultan pada pidato kebudayaan di Pendopo Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM, Selasa (28/1/2025).
Pidato kebudayaan Sri Sultan tersebut disampaikan dalam Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan, sebuah momen refleksi dan diskusi yang bertujuan memperkuat identitas kebudayaan Nusantara dan merumuskan langkah konkret menuju pemajuan kebudayan berkelanjutan. Kegiatan yang dihadiri ratusan seniman, pegiat seni, akademisi dan budayawan ini sekaligus membersamai dan turut “mangayubagya” purna tugas Hilmar Farid yang telah menorehkan dedikasi sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) periode 2015 hingga 2024.
Sri Sultan menyampaikan konsep Kebudayaan Indonesia Baru ini berkelindan dengan ide besar Arkipelagis. Tema tersebut dapat menjadi motor penggerak semangat dan keterampilan bahari yang perlu digali dan dikembangkan di kalangan generasi muda agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Diilhami semangat Arkipelagis itu, upaya membangun Indonesia Baru memerlukan strategi budaya dengan menyiapkan generasi muda Indonesia yang bertanggung- jawab, berkeyakinan diri, dan berwawasan kebaharian mendalam serta keterampilan bahari memadai.
Sejarah telah memberikan pelajaran, hidup dalam multikulturalisme yang penuh toleransi dan saling menghargai, dapat menjadi sumber kemajuan. Sejarah juga menunjukkan proses integrasi berbagai budaya dan bangsa, adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara. Alangkah besarnya manfaat, jika pluralitas budaya, menjadi serat-serat yang saling memperkuat, sehingga suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta.
Pada tataran global, Sri Sultan mengemukakan dinamika pergeseran pusat perhatian dan kegiatan dunia semakin bergeser ke arah timur. Sebagaimana telah diramalkan Naisbitt dan Aberdene, pusat perkembangan dunia, yang dulunya berada di Mediterania dan Atlantik, kini telah beralih ke Indo-Pasifik. Sejumlah negara, telah menyiapkan dan melaksanakan strategi menghadapi pergeseran ini, baik secara bilateral maupun multilateral.
Pergeseran ini pada akhirnya, kata Sri Sultan menempatkan Kepulauan Indonesia kembali menjadi persilangan strategis, sebagaimana zaman kejayaan bahari Nusantara beberapa abad silam. Indonesia sendiri, telah berusaha menempatkan diri sebagai Poros Maritim Dunia. Sehingga menjadi relevan pula, apabila beberapa isu terkini terkait Samudera Hindia, menjadi perbincangan aktual di kalangan negara-negara The Indian Ocean Rim Association (IQRA)
“Makna Nusantara adalah Kesatuan Kepulauan yang terletak antara 2 Benua dan 2 Samudera, yang tidak lain adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan letak geografis seperti itu, maka penghuni yang berada di dalam Nusantara itu, konsekuensinya harus memiliki Wawasan Nusantara sekaligus Wawasan Bahari atau lebih tepatnya Wawasan Nusantara Bahari,” ungkapnya.
Dalam upaya revitalisasi Semangat Nusantara, diutarakan Sri Sultan konsekuensi lanjutannya adalah bangsa Indonesia harus memiliki pemahaman Geopolitik dan Geostrategis. Tujuannya menggugah wawasan dam mengeksplorasi jatidiri bangsa, diderivasikan dari Wawasan Nusantara, diaktualisasikan dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika dan ditempatkan dalam konteks percaturan global dan pergeseran geopolitik internasional. Sejatinya revitalisasi semangat Nusantara itu tidak lain adalah Wawasan Nusantara Bahari yang perlu dibangkitkan kembali guna mempercepat kebangkitan Indonesia.
“Menjadi kewajiban nasional untuk memperkuat integrasi bangsa, melalui strategi nasional aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Pengalaman mengajarkan bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial bisa melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya keberagaman (bhinneka), dan kesediaan menghormati kemajemukan bangsa Indonesia,” ujar Raja Keraton Yogyakarta itu.
Dalam hal ini, hendaknya Bhinneka Tunggal Ika, bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan, yang dituangkan ke dalam kebijakan publik. Jika menggeser orientasi pembangunan menuju skala dunia, maka harus mulai memperkuat basis pendidikan bidang kelautan dan berorientasi pada tatanan Benua Maritim Indonesia. Selain itu, perlu memperkuat fungsi pengawasan. Dengan berbagai potensi yang melingkupinya, kemaritiman akan menjadi salah satu solusi kunci, dalam berbagai permasalahan global di masa depan.
Sementara penanggung jawab acara sekaligus inisiatif acara, Heri Pemad menyatakan kebudayaan adalah nafas yang menyatukan semua elemen masyarakat. Untuk itu, kegiatan ini ingin memberikan ruang berdiskusi, bagaimana memelihara praktik kehidupan kebudayaan.
“Hari ini kita berdiri di ambang masa baru, ada kementrian kebudayaan, bagaimana dengan jalan ke depan. Inilah pentingnya kita bersuara, mengingatkan dan mengawali. Semoga ruang ini menjadi langkah baru yang lebih indah,” imbuhnya.
Sebelum pidato kebudayaan oleh Gubernur DIY dan Nirwan Dewanto, event tersebut diawali dengan kuliah umum yang diisi Hilmar Farid. Usai pidato kebudayaan, dilanjutkan dengan refleksi kebudayaan berupa simposium Arkipelagis yang menghadirkan pembicara yaitu Charles Toto, Titah AW, Afrizal Malna Premana, W. Premadi, Bambang Sugiharto, Farah Wardani dan Nia Dinata.
Adapun para panelis pada diskusi kebudayaan antara lain Dyah Widuretno, Sri Wahyaningsih, Sirin Farid Stevy, Sutanto Mendut, Hasan Basri, Paksi Raras Alit, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Arief Yudi Rahman, Santi Ariestyowanti dan Singgih S Kartono. Selanjutnya Yoshi Fajar Kresno Murti, Ari Wulu, Butet Kartaredjasa, Garin Nugroho, Agus Noor, Budi lrawanto, Ignatia Nilu, Ayos Purwoaji, Linda Mayasari, Irfan Afifi.dan lain sebagainya. (SN)