Lanny Ilyas Wijayanti
HALOPOS.IDDibanyak daerah, sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga pusat harapan masyarakat. Ketika pemerintah memperkenalkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai salah satu alat evaluasi pembelajaran, banyak pihak termasuk kami di lingkungan sekolah dan masyarakat melihat ini bukan sekadar soal ujian. TKA adalah cermin nasional yang memberi gambaran obyektif atas kualitas pendidikan kita bersama.
Pendidikan yang bermutu tidak bisa dibangun hanya dengan persepsi dan asumsi. Kita butuh alat ukur yang adil, merata, dan terstandar. TKA hadir bukan untuk menghakimi sekolah atau siswa, melainkan untuk memberi masukan, baik kepada guru, kepala sekolah, orang tua, maupun pemangku kebijakan, agar bisa mengambil langkah pembenahan yang tepat sasaran.
Sebagai komunitas pendidikan, kami memahami pentingnya evaluasi yang tidak bias. Selama ini, tantangan terbesar pendidikan di daerah adalah kesenjangan sumber daya dan perbedaan mutu antar sekolah. Di sinilah letak nilai strategis TKA. Dengan pendekatan nasional yang merata, sekolah-sekolah di desa tidak lagi dinilai dengan standar yang berbeda dari sekolah-sekolah di kota. Anak-anak dari latar belakang mana pun punya kesempatan menunjukkan kemampuannya dengan adil.
Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 menjadi landasan yuridis penting yang menjamin bahwa pelaksanaan TKA dilakukan secara bertahap, tidak memaksakan kesiapan sekolah, dan tetap mempertimbangkan kondisi lokal. TKA tidak menentukan kelulusan, tidak menggantikan peran guru dalam menilai siswa, dan tidak pula menjadikan angka sebagai satu-satunya tolok ukur. Ini yang membuat TKA berbeda dari ujian nasional di masa lalu.
Di sisi lain, TKA juga membuka ruang baru bagi kolaborasi antar pemangku kepentingan. Pemerintah pusat, daerah, sekolah, dan masyarakat harus saling mendukung agar proses evaluasi ini menghasilkan perbaikan konkret.
Misalnya, jika data TKA menunjukkan kelemahan siswa di bidang matematika, maka pelatihan guru atau program penguatan bisa segera dirancang. Begitu pula jika capaian akademik tinggi itu bisa jadi modal untuk mengembangkan model pembelajaran khas daerah tersebut.
Kami percaya, pendidikan bermutu adalah tanggung jawab bersama, dan sistem evaluasi seperti TKA bisa menjadi titik temu. Tentu implementasinya harus disertai pelatihan, sosialisasi, dan pendekatan yang komunikatif. Namun jika semangatnya adalah untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh, maka partisipasi dari masyarakat lokal akan mengalir dengan sendirinya.
Akhirnya, TKA bukan sekadar tes, tapi gerakan menuju pemerataan mutu pendidikan. Ia memberi sinyal pada sekolah tentang apa yang perlu diperbaiki, memberi arah pada guru untuk mengembangkan pembelajaran, dan memberi suara pada masyarakat tentang pentingnya keterlibatan aktif dalam proses pendidikan anak-anaknya.