Pendidikan Yang Memerdekakan

Bayumie Syukri Praktisi dan Pemerhati Pendidikan
Bayumie Syukri Praktisi dan Pemerhati Pendidikan

HALOPOS.ID – Pemahaman terhadap pendidikan yang memerdekakan penting untuk saat ini. Pendidikan yang memerdekakan merupakan sebuah wacana yang dapat membuka kesadaran kita untuk melihat keadaan pendidikan yang ada di negeri ini. Untuk mempelajari pendidikan yang memerdekakan seseorang perlu belajar dari sejarah. Dalam kajian sejarah, kesadaran akan jatidiri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka tidak terlepas dari peran pendidikan. 

Pendidikan seringkali dimaknai hanya sebagai proses pengembangan intelektual yang parsial saja, hanya terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan. Seringkali pendidikan dianggap selesai ketika anak didik sudah memahami materi pelajaran. Persoalan kemanusiaan seakan-akan dilepaskan dari konteks pembelajaran. Padahal dalam sejarahnya, pendidikan selalu diupayakan dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan, bukan terlepas darinya.

Bayumie Syukri Praktisi dan Pemerhati Pendidikan menilai, istilah pendidikan yang memerdekakan merupakan sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara merupakan seorang tokoh pendidikan di Indonesia. Dan ia merupakan salah satu tokoh yang mendirikan Taman Siswa. Usahanya dalam mendirikan Taman Siswa merupakan suatu bentuk kepeduliannya dalam membangun, meningkatkan dan meninjau kembali sistem pendidikan di Indonesia. Model pendidikan yang dibentuk oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu Pendidikan yang Memerdekakan.

Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa melalui perjuangan yang dimulai oleh Ki Hajar Dewantara, bangsa Indonesia memiliki harapan untuk semakin dimanusiakan dan memiliki kemanusiaan. Usaha memanusiakan manusia tersebut diupayakan melalui pendidikan. Usaha tersebut merupakan suatu bentuk perwujudan cita-cita membangun manusia Indonesia. Dalam hal ini kesadaran mengenai esensi pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia penting disadari.

2. Peran Pendidikan

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Karena yang dibentuk dalam proses pendidikan adalah keseluruhan aspek yang menjiwai kehidupan seseorang, termasuk dalam pola pikir dan tindakan yang ditata, sehingga membentuk pola hidup yang semakin manusiawi. Penataan pola pikir dan tindakan yang baik (etis) akan terlihat dalam sikap hidup seseorang. Antara pola pikir dan tindakan seseorang selalu dijembatani oleh benih-benih falsafah pendidikan.

Pada dasarnya, pendidikan merupakan bentuk praksis yang lahir dari spekulasi-spekulasi etis filsafat atas hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian di sini pendidikan kemudian menjadi syarat untuk hidup. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang bersifat humanisasi.

Sistem pendidikan yang mementingkan intelektualitas sembari secara sadar meminggirkan pembentukan karakter dapat melahirkan pribadi-pribadi yang pintar tapi egois, cerdas tapi tipis kesadaran moral, terampil tapi tanpa visi, dan kurang kooperatif. Bila demikian adanya, pendidikan yang idealnya untuk “memerdekakan manusia” seperti dipaparkan di atas memang terasa sulit didaratkan dalam kenyataan. Sebagai manusia Indonesia, sesungguhnya kita dapat belajar kembali sejarah pendidikan yang memerdekakan yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara.

Beliau menegaskan bahwa esensi pendidikan adalah daya-upaya untuk “memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia”. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk para peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang berbudi pekerti luhur. Dengan demikian, mereka mampu mengendalikan dorongan ego diri yang serakah, mampu menolak segala godaan yang menjerumuskan kehidupan baik dengan diri sendiri, sesama, maupun masyarakat luas dalam realitas sosial. Itulah hidup yang berperikemanusiaan. Kedewasaan dalam karakter memapukan seseorang untuk hidup secara teratur dan tertib, termasuk tertibnya relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

Pendidikan sebagai pengembangan pribadi merupakan suatu upaya pembinaan budi pekerti dan intelek secara teratur dan tertib. Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan merupakan daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti dan intelek dalam proses pengembangan kepribadian anak didik agar dapat memajukan kehidupan anak didik yang selaras dengan lingkungan di sekitarnya.

Proses pendidikan sebagai pengembangan pribadi mencakup usaha yang sangat luas. Pengembangan kepribadian bukan hanya berarti perkembangan kepribadian dalam arti personal tetapi pengembangan kepribadian yang menyangkut aspek-aspek sosial. Oleh karena itu, perumusan mengenai proses pengembangan kepribadian memiliki tujuan bahwa manusia mengembangkan kepribadiannya di dalam pengertian etis.

Dalam proses pembinaan, anak didik diarahkan, dibina untuk bertumbuh dan berkembang (crescat et floreat) menjadi pribadi yang rendah hati, murah hati, pemaaf, peduli dengan sesama dan lingkungan sekitar, mampu menghargai sesama, tulus dan ikhlas dalam membantu orang lain, harmonis dalam relasi dengan diri sendiri, sesama, dan lingkungan. Hal semacam ini perlu pembinaan secara terus-menerus di setiap lembaga pendidikan formal agar anak semakin dewasa mengimplementasikan serta mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, perlu adanya pengertian (ngerti), kesadaran (ngrasa), dan kesungguhan untuk melakukan (ngelakoni) sesuatu secara tanggung jawab sebagai bentuk aplikasi dari pengetahuan yang dimiliki oleh anak didik. Mereka mendapatkan pengetahuan lewat pengajaran dan pendidikan yang dilakukan oleh seorang guru (pamong). Menurut Ki Hajar Dewantara, tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan dan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan.

Dengan demikian tugas pendidikan adalah bertanggung jawab untuk membentuk para peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter dewasa sehingga mampu menghayati dan menjalani hidup secara bermakna. Dalam perspektif itu kiranya semboyan non scholae sed vitae discimus “Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup” demikian menegaskan bahwa belajar merupakan sebuah upaya untuk membangun kehidupan dari waktu ke waktu agar semakin baik.

Sekolah harus melakukan pembinaan kognitif, afektif, dan psikomototik secara menyeluruh. Usaha yang dilakukan oleh sekolah dalam hal ini dapat membentuk hidup manusia yang semakin berguna di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan apapun pendekatan dan metodenya adalah upaya sadar dan sengaja dalam rangka membina manusia menjadi pribadi yang merdeka, berdiri sendiri, dan memiliki kedewasaan dalam aspek pengetahuan.

Beberapa pemikir yang bisa disebutkan sebagai pencetus pendidikan yang memerdekakan adalah Maria Montessori, Friederich Fröbel. Pada akhir abad ke-18 dan kemudian abad ke-19, istilah kemerdekaan dalam usaha pendidikan sudah mulai dikenal. Akhir abad ke-19, pengertian kemerdekaan dikemukakan sebagai syarat mutlak untuk melakukan pendidikan, yang berdasarkan pengakuan kekuasaan kodrat manusia. Kedua pemikir tersebut berusaha untuk mengungkapkan pendidikan yang memerdekakan. Mereka berusaha untuk menemukan suatu rumusan tentang pendidikan yang memerdekakan yang jelas. Konsekuensi dari usaha tersebut adalah mereka harus menemukan titik berangkat yang tidak bisa disanggah dan jelas pada dirinya sendiri. Titik berangkat tersebut menjadi fondasi pendidikan yang memerdekakan yang dibangun. Pendidikan yang memerdekakan yang mereka bangun disebut anthroposofis (manusia yang berpengetahuan).

Pendidikan yang memerdekakan

Menurut Maria Montessori pada dasarnya manusia dilahirkan di dunia sudah memiliki alat- alat untuk hidup. Sebagai seorang dokter ia mengetahui tumbuhnya jiwa dan jasmani anak-anak, mulai terjadinya benih manusia, hidup tumbuhnya di dalam kandungan dan seterusnya sesudah bayi lahir, dan juga mulai masa puber pertama. Menurutnya ada hubungan erat antara gerak jiwa dan gerak badan anak-anak. Semuanya ini tidak terlepas dari gerak-gerik nafsu kodrati, yang dalam hidup anak-anak merupakan pusat dan sumber keinginan dan nafsunya.

Si pendidik harus mengerti, bahwa setiap tuntutan gerak-gerik anak-anak adalah tuntutan jiwa dan badan anak-anak secara psikologis. Perintah atau paksaan dari pihak si pendidik mungkin bertentangan dengan tuntutan jiwa dan jasmani anak-anak, dan karenanya menghambat pertumbuhan atau kemajuan hidup anak-anak secara jasmani dan rohani. Montessori menjelaskan misalnya keinginan anak-anak untuk memegang segala apa yang ada disekitarnya kalau ia sedang berjalan. Ini menurut Montessori karena anak memiliki kekurangan untuk bergerak, memerlukan memegang-megang meja, kursi, almari, agar tidak lelah. Itulah sebabnya Montessori memakai dasar kemerdekaan dan kebebasan serta apa yang olehnya disebut spontanitet.

Spontanitet berarti gerak atau tindakan bebas dari anak-anak yang keluar dari keinginan sendiri, secara tiba-tiba tanpa memikirkan sesuatu terdahulu. Semua gerak-gerik anak-anak merupakan tuntutan jiwa-raganya, yang memberi kemajuan jasmani dan rohaninya. Orang hendaknya tidak menghalang-halanginya, hendaknya anak tidak dipaksa berbuat ini atau itu.

Paksaan sekalipun bermaksud baik, namun pada hakikatnya sering bertentangan dengan proses pertumbuhan jiwa anak-anak. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa maksud pendidikan menurut Montessori ialah mencerdaskan jiwa anak-anak menurut kodratnya masing-masing. Pendidikan memperkenalkan cara dan jalan kepada para peserta didik untuk membina dirinya sendiri.

Pemikiran Montessori di atas pun masih memiliki keterkaitan dengan alur pemikiran Ki Hajar Dewantara. Salah satu pemikiran Ki Hajar Dewantara yang terdapat dalam Taman Siswa adalah kemerdekaan pada setiap individu untuk mengatur dirinya sendiri sehingga anak didik bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya. Manusia pada kodratnya merupakan mahkluk yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas eksistensinya. Ia dapat mengatur diri sendiri, bertanggung jawab atas keberadaanya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Dalam usaha untuk menjawab kegelisahan tersebut, penulis ingin menggali dan menemukan jawaban suatu konsep pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara. Apakah memang benar bahwa pendidikan yang memerdekakan merupakan model pendidikan yang menerapkan kodrat manusia?

Dalam proses pencarian data, penulis menemukan definisi pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu bahwa pendidikan yang memerdekakan merupakan suatu proses pendidikan yang meletakkan unsur kebebasan anak didik untuk mengatur dirinya sendiri, bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya. Artinya seorang anak mempunyai otoritas mengembangkan dirinya secara otentik. Ini merupakan sifat khas pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Sedangkan kekhasan dari pemikiran Montessori adalah analisa psikologis perkembangan anak. Menurutnya seorang anak memiliki sumber keinginan yaitu nafsu kodrati. Nafsu kodrati tersebut mendorong seorang anak untuk mendekati dan mengetahui sesuatu di sekitarnya. Dalam proses pengenalan akan sesuatu, seorang anak mengaktualisasikan tindakannya sebagai bentuk proses belajarnya. Dalam proses belajar, aktivitas seorang anak jangan dihalangi, tetapi diberi kebebasan agar seorang anak dapat mengeksplorasi keinginannya secara leluasa. Oleh karena itu, Montessori memakai dasar kemerdekaan dan kebebasan dalam model pendidikannya.

Pemaparan di atas mendorong penulis untuk mensintesis pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara secara filosofis mengatur dirinya sendiri sesuai dengan kodratnya, Pendidikan yang memerdekakan berlandaskan Pengajaran bercirikan Orang Indonesia, Maksud pendidikan dan pengajaran yang memerdekakan.

Respon (2)

  1. I see You’re in point of fact a excellent webmaster.
    The website loading velocity is amazing. It seems that you’re
    doing any unique trick. Furthermore, the contents are masterwork.
    you’ve done a fantastic activity in this subject!
    Similar here: ecommerce
    and also here: E-commerce

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *