Keistimewaan DIY Memiskinkan Rakyat Yogyakarta : Quo Vadis

Fokki Ardiyanto, Politikus PDI Perjuangan Kota Yogyakarta. (Sumber Foto: Facebook)
Fokki Ardiyanto, Politikus PDI Perjuangan Kota Yogyakarta. (Sumber Foto: Facebook)

HALOPOS.ID|YOGYAKARTA – Pada tahun 2010-2011 rakyat DIY geger ketika pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewacanakan pemilihan kepala daerah (baca gubernur dan wakil gubernur) secara langsung seperti daerah daerah lain di wilayah Republik Indonesia.

Selama ini di DIY bahwa gubernur adalah identik dengan Sultan Kraton Ngayogyokarto yang bertahta dan wakil gubernur adalah Pakualam yang bertahta di Kadipaten Puro Pakualaman. Ketika Pemerintah Pusat dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewacanakan pemilihan kepala daerah maka dapat tersampaikan di rakyat Yogyakarta bahwa Presiden SBY akan menghapus keistimewaan DIY.

“Isu dan wacana ini cepat berkembang dan menjadi titik point rakyat Yogyakarta bereaksi melawan dengan jargon mendukung penetapan. Gerakan ini sangat massif dan didukung oleh mayoritas rakyat DIY dengan slogan slogannya pejah gesang nderek Sultan, kami pro penetapan, Sumber Bencana Yogyakarta (SBY) dan sebagainya.”

“Massa aksi dengan gerakan gerakannya berhasil menekan DPRD DIY dan DPRD Se DIY untuk menyatakan sikap mendukung keistimewaan dengan penetapan vis to vis berhadapan dengan partai penguasa waktu itu Partai Demokrat. Terkecuali Kota Yogyakarta dimana Fraksi Demokrat di DPRD Kota Yogyakarta mendukung penetapan,” kata Politikus PDI Perjuangan Kota Yogyakarta, Fokki Ardiyanto, Rabu (30/4/2025).

Gerakan tersebut bergulir sampai ke parlemen di Jakarta dan akhirnya di tahun 2012 berhasil disepakati lahirnya UU Keistimewaan DIY dengan ketua pansusnya Ganjar Pranowo.

Kekuatan rakyat berhasil memenangkan keistimewaan DIY sekali lagi rakyat adalah aktor utama pergerakan sosial dan politik kala itu.

Pasca UU Keistimewaan DIY maka jasa rakyat kepada Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sangat besar karena rakyat berhasil “mempersembahkan” segalanya kepada rajanya :
1. Jabatan politik : gubernur dan wakil gubernur seumur hidup
2. Uang yang berlimpah melalui dana keistimewaan
3. Tanah melalui pensertifikatan tanah tanah berdasarkan peta yang dibuat kerajaan Belanda (rijsblaad)
4. Struktur pemerintahan yang semakin memperkokoh kedudukan gubernur dan wakil gubernur.

“Rakyat senang karena keinginan rakyat hanya satu bahwa dengan keistimewaan maka kebijaksanaan raja seperti yang ditunjukkan Sri Sultan Hamengkubowono ke IX dapat terjaga dengan semboyan yang terkenal tahta untuk rakyat,” ungkapnya.

Tetapi apa yang terjadi? Apakah harapan rakyat sesuai kenyataan? Apakah setelah UU keistimewaan rakyat semakin sejahtera?

Jawaban sementara dengan melihat fakta di lapangan adalah *implementasi uu keistimewaan dengan perdais perdaisnya* sebagai salah satu sebab ‘pemiskinan rakyat yogyakarta. ‘

Indikator dan peristiwa yang terjadi mengindikasikan hal tersebut :
1. Tingkat kemiskinan DIY semakin tinggi lihat data BPS.
2. Rasio kesenjangan sosial semakin melebar.
3. Penggusuran ruang hidup rakyat semakin meluas
4. Hak rakyat sesuai dengan konstitusi terutama hak mendapatkan pekerjaan yang layak dan hak mendapatkan tempat tinggal semakin diabaikan.
5. Kapitalisme dan Feodalisme semakin bersekutu memiskinkan rakyat atas nama pembangunan.

“Penggusuran tukang parkir, penggusuran PKL dan penggusuran rumah rumah rakyat, pengambilan kembali tanah kas desa, HGB HGB rakyat tidak bisa diperpanjang, SHM SHM rakyat diminta yang menempati tanah berdasarkan peta Kerajaan Belanda menjadi tanah SG dan PAG serta beban APBD Propinsi, Kota dan Kabupaten untuk membayar kantor kantornya yang menempati tanah SG dan PAG semakin menambah beban keuangan daerah yang berimbas pada program program peningkatan kesejahteraan rakyat,” sambungnya.

Dalam situasi ini maka dibutuhkan dorongan yang kuat dari kekuatan sipil dan politik di DIY dan di pusat untuk bisa mengevaluasi UU Keistimewaan DIY pada penguatan aspek budaya karena selama ini yang terjadi adalah penguatan dalam struktur pemerintahan yang feodalistik dan penguasaan sumber penghidupan rakyat yaitu kapital dan tanah berdasarkan peta jaman kolonial Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris.

Bila proses evaluasi ini tidak dilakukan maka penulis kuatir akan timbul kantong kantong perlawanan rakyat melalui gerakan gerakan sosial.

Atau ada perubahan perilaku gaya kepemimpinan yang mengikuti pola yang dilakukan Sri Sultan HB IX bahwa Tahta Untuk Rakyat dan harapannya sekarang kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah Tanah Untuk Rakyat.

“Bila ada perubahan filosofi kepemimpinan maka penulis yakin selamanya keistimewaan yang berujung kepada kesejahteraan rakyat akan selalu mendapat tempat di hati rakyat,”
pungkas mantan Anggota DPRD Yogyakarta itu. (SN)

Penulis: SimonEditor: Herwanto