WARTAWAN adalah mitra pemerintah. Ia bekerja untuk menyebarkan berita tertulis, gambar, dan suara sesuai fakta di lapangan. Ia juga bekerja di bawah naungan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 secara profesional.
———-
HALOPOS.ID|PALEMBANG| Sekretaris Jenderal Sekber Wartawan Indonesia Pusat, Herry Budiman, mengatakan keliru apabila pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palembang menelantarkan wartawan di kantornya, ketika tiga wartawan ingin melakukan konfirmasi atas sertifikat tanah yang diterbitkan diduga cacat hukum.
“Jika tak berani menerima wartawan, tentu akan muncul kecurigaan dari masyarakat, ada apa di balik penerbitan sertifikat yang membuat tanah Abuhasan bin Ja’cob menjadi tumpang-tindih,” ujar Herry Budiman, di ruang kerjanya, Senin (27/12/2021).
Menurut Herry, pejabat yang menolak kehadiran wartawan disaat sedang bertugas, berarti dia telah melecehkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999.
“Ini sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers di Indonesia. Ia juga sedang melaksanakan profesinya untuk menggali informasi positif yang akan disampaikan ke masyarakat. Karena pihak BPN harus terbuka dalam kaitan penerbitan sertifikat dan memberi ruang wawancara kepada wartawan,” katanya.
Sebagai “penguasa Sumatera Selatan” , Gubernur H Herman Deru saja sangat terbuka dengan wartawan. Ketika ada keperluan untuk dijelaskan ke masyarakat, Herman Deru membutuhkan wartawan. “Bahkan ketika ada persoalan yang harus diklarifikasi ke wartawan, Pak Deru selalu memanggil kami,” ujarnya.
Bahkan penguasa Palembang H Harnojoyo sendiri, sangat terbuka kepada wartawan. Bahkan kemana pun dia melakukan tugas dan beranjangsana ke lokasi tujuan, sejumlah wartawan disertakan dalam kegiatan itu. “Nah, Pak Norman sendiri kok bersikap antipati kepada wartawan? Beliau ini tampaknya perlu dibuka persepsinya terkait siapa dan apa saja tugas-tugas wartawan itu,” ujar Herry.
Menurut dia, pada pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 menyebutkan, tugas wartawan adalah mencari berita berdasarkan fakta di lapangan melalui berita tertulis, gambar, serta suara. Hasil garapannya akan disebarkan secara luas ke masyarakat. “Berarti Pak Norman ini tidak mengerti pers, atau pura-pura tidak tahu? Dia memang perlu dibuka mata hatinya lewat aksi unjuk rasa,” tegas Herry.
Menurut informasi yang berkembang, ada persoalan sertifikat tanah Nomor 936 dan 946 tahun 2008 yang diterbitkan BPN dalam tempo tiga hari. “Ini tidak benar. Itu fakta kebijakan yang cacat hukum, dan perlu diklarifikasi wartawan. Tapi Pak Norman menolak wartawan terkait masalah itu. Nah, ada masalah apa di balik penerbitan sertifikat tersebut?” ujarnya.
Menurut Herry, setahu dia, menerbitkan sertifikat tanah tidak sembarangan dilakukan. Selain harus merujuk asal-muasal tanah dengan surat-surat aslinya. Jika sudah benar dan tidak bermasalah dengan pemilik tanah, barulah sertifikat itu diterbitkan. Waktunya? “Setiap sertifikat yang tak bermasalah, barulah diterbitkan BPN dalam waktu 56 hari. Nah, sertipikat Nomor 936 dan 946 tahun 2008 itu tampaknya cacat hukum,” kata Herry.
Ada lagi sertifikat Nomor 6095 yang diterbitkan BPN Kota Palembang tahun 2018 dan 662 yang terbit tahun 2019, pemiliknya menduduki tanah Abuhasan. Padahal keluarga Abuhasan (H Yunani Abuhasan) belum pernah menjual tanah itu. Bahkan hingga saat ini dia masih memegang surat asli GS Nomor 1580 tahun 1985. Bahkan ada sertifikat Nomor 960 dan 961 tahun 2008 status lokasinya di Kelurahan Sukamulia.Kecamatan Sako, justru menduduki tanah milik H Yunani Abuhasan. “Rasanya wajar apabila wartawan ingin menanyakan masalah itu. Kok Pak Norman menolak wartawan? Ada praktik mafia apa di balik itu?” katanya. (NT)
Editor Anto Narasoma