HALOPOS.ID|PALEMBANG – Belajar tidak harus selalu duduk diam dan menghafal. Anak-anak sebenarnya paling mudah menyerap pengetahuan saat mereka merasa senang, bebas bereksplorasi, dan penuh rasa ingin tahu. Itulah mengapa bermain menjadi bagian penting dari dunia belajar mereka.
Namun sayangnya, di banyak sekolah, pembelajaran masih sering dianggap sebagai aktivitas serius yang jauh dari kata menyenangkan. Padahal, pendidikan seharusnya menumbuhkan semangat, bukan sekadar menjejalkan informasi.
Kini, melalui semangat Merdeka Belajar, pendekatan belajar berbasis permainan mulai mendapat tempat kembali. Tidak lagi dipandang sebagai kegiatan “main-main”, tetapi sebagai cara alamiah untuk mengasah kecerdasan anak.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa permainan punya peran besar dalam meningkatkan motivasi belajar anak. Wulandari dan Nurhayati (2021) menemukan bahwa metode belajar berbasis permainan dapat meningkatkan semangat belajar siswa SD hingga 60% dibandingkan pembelajaran biasa.
Melalui permainan seperti ular tangga matematika, anak bisa berlatih berhitung tanpa merasa terbebani. Saat memainkan drama cerita rakyat, mereka belajar berbahasa, bekerja sama, dan memahami nilai moral tanpa harus mendengarkan ceramah panjang.
Permainan juga melatih logika, kreativitas, serta kemampuan sosial. Anak belajar menunggu giliran, mematuhi aturan, dan menerima kekalahan dengan sportif.
Tidak perlu alat mewah untuk membuat pembelajaran jadi seru. Kertas warna, tutup botol, atau papan karton bisa menjadi media permainan edukatif yang menarik.
Menurut Andriani dan Wibowo (2020), kunci dari keberhasilan pembelajaran berbasis permainan adalah kreativitas guru, bukan fasilitas sekolah. Guru yang mampu mengubah konsep pelajaran menjadi permainan sederhana akan menciptakan suasana belajar yang lebih hidup dan berkesan.
Contohnya, permainan ‘Kartu Kilat Matematika’ bisa melatih kecepatan berhitung, sementara ‘Debat Mini’ membantu anak belajar berpikir kritis dan berani mengemukakan pendapat.
Ketika bermain, anak sebenarnya sedang melakukan proses berpikir tingkat tinggi — menganalisis, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Dalam suasana gembira, otak lebih aktif menyerap informasi dan menyimpannya lebih lama.
Fadillah dan Ratna (2022) menyebut bahwa permainan edukatif tidak hanya meningkatkan kemampuan kognitif, tetapi juga menanamkan nilai karakter seperti empati, kejujuran, dan tanggung jawab. Inilah esensi dari pembelajaran yang menumbuhkan — belajar dengan hati, bukan hanya dengan kepala.
Tentu saja, pembelajaran berbasis permainan tidak bisa berhasil tanpa dukungan bersama. Guru perlu didukung oleh sekolah yang terbuka terhadap inovasi, sementara orang tua juga perlu memahami bahwa “bermain” bukan berarti “tidak belajar”.
Prasetyo (2023) mengingatkan, guru masa kini bukan hanya penyampai materi, melainkan fasilitator pengalaman belajar yang menyenangkan. Dengan sinergi semua pihak, ruang belajar bisa menjadi tempat yang tidak hanya mendidik, tapi juga membahagiakan.
Anak-anak yang belajar dengan bahagia akan tumbuh menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mereka tidak takut salah, karena setiap kesalahan hanyalah bagian dari petualangan belajar mereka.
Permainan bukan sekadar hiburan. Ia adalah jembatan antara gembira dan cerdas, antara tawa dan pengetahuan. Dan di situlah, pendidikan sejati dimulai.
Penulis: Amanda Dwi Lestari; Dr. Esti Susiloningsih, S. Pd., M. Si; Dwi Cahaya Nurani, M. Pd.