Rasulullah Ya Rasulullah

PEMILIK hati yang lembut, bersih, dan selalu bersyukur, adalah kekayaan yang paling baik bagi pemiliknya. Tapi apakah cukup hanya _segitu_? Ternyata tidak. Jika kita tidak peduli dengan lingkungan tempat kita berada, hati yang _qona’ah_ akan sia-sia saja

Kekayaan hati, harus menumbuhkan kekayaan rasa dan perasaan. Sebab kehidupan paling membutuhkan orang baik yang mampu mengaplikasikan kebaikannya untuk membantu orang lain. Terutama membantu mereka yang tak mampu secara finansial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Untuk kita renungkan, orang yang sudah mati, meminta kepada Allah SWT untuk hidup sejenak saja. Apa yang diharapkan mereka? Sedekah atau sodaqoh. Artinya mereka tidak minta untuk shalat, tapi bersedekah.

Mengapa begitu? Yah itulah nilai-nilai yang paling disukai Allah SWT. Berbagi rejeki adalah nilai terindah yang harus dilakukan oleh orang-orang berhati _qona’ah_ yang terbuka dan suka berbagi rasa. Karena itu orang berhati _qona’ah_ sangat baik, apalagi ia selalu terbuka untuk saling berbagi kasih antar sesama.

Belajar dari kisah Rasulullah Muhammad SAW tentang akhlaknya terhadap orang yang setiap saat bertemu dengan dirinya, selalu mencaci, menjelek-jelekan dirinya yang suka berbohong, bodoh, tak penah belajar (sekolah), menikahi banyak wanita, Rasul tetap tersenyum dan tak pernah mengurangi kebaikan dan keluhuran hatinya.

Begitu hebatnya cobaan hidup yang membentur akhlaknya sebagai manusia teladan dan sejak kecil sudah digelari al-amin oleh masyarakat.

Siapakah sosok yang selalu mencaci maki dan menjelek-jelakkan diri Rasulullah? Dialah pengemis buta, seorang yahudi yang selalu meminta-minta di sudut pasar Madinah Al-Munawarah.

Setiap siapa pun yang mendekatinya, pengemis buta itu selalu menyatakan, jangan mendekati Muhammad Rasulullah, akan dipengaruhinya. “Muhammad itu pembohong, tukang sihir, dan selalu mengajak orang-orang berbuat buruk. Istrinya saja, luar biasa banyaknya,” ujar pengemis buta tersebut.

Menghadapi kondisi yang sangat menyakitkan hati, Rasulullah tetap tersenyum tanpa bicara sedikit pun. Ia justru setiap hari selalu membawakan makanan untuknya, dan menyuapinya ke mulut pengemis buta tersebut. Dengan sikap yang lembut ketika menyuapi pengemis buta itu, membuat hati si pengemis merasa tenang dan tentram. Masya Allah.

Tatkala Rasulullah meninggal dunia, tak ada lagi orang yang mau memberi makanan dengan cara yang demikian. Si pengemis merasa kehilangan dan sangat merindukan Rasulullah. Kemana orang yang berhati qona’ah itu?

Air mata pengemis buta itu menitik ke pipinya. Ia rindu sekali dan ingin bertemu Rasulullah. Rasul yang selalu melayaninya dengan sikap yang meluluhkan hatinya. Menyuapi makanan ke mulut si pengemis dengan cara dan tangan yang lembut.

Bahkan jika ada makanan yang agak keras, telah dilumatkan Rasulullah dengan mulutnya sendiri. Ah kemana kau orang baik? Begitu bisik hati sang pengemis.

Suatu hari, Abu Bakar As-Siddiq berkunjung ke rumah Rasulullah. Ia bertemu dengan anak Rasulullah SAW, Siti Aisyah rha. Dalam percakapan dengan Abu Bakar, Aisyah mengatakan, “Anakku, sunnah apa yang belum aku kerjakan?”. Begitu mendiang Rasulullah menanyakan itu ke anaknya Siti Aisyah.

“Mana mungkin ada sunnah yang belum kau lakukan Rasulullah. Kau adalah seorang akhli sunnah. Karena itu semuanya sudah ayahanda lakukan,” jawab Siti Aisyah kepada Rasulullah SAW.

Tiap pagi, kata Aisyah, Rasulullah selalu pergi ke pasar Madinah Al-Munawarah. Ia selalu membawa makanan dan menyuapinya ke pengemis buta itu.

Esoknya, secara diam-diam Abu Bakar As-Siddiq membawa makanan dan mencoba menggantikan Rasulullah SAW memberi makan pengemis tersebut. Secara perlahan ia mendekati dan mencoba memberi makanan kepada pengemis tersebut. Namun dari cara Abu Bakar memberi makanan ke mulutnya, si pengemis curiga. Alis matanya bertaut.

Kemudian ia bertanya,” Siapa kau? Kau pasti bukan orang yang biasa menyuapi dan memberiku makanan, kan? Sebab dari cara dan perasaan yang dilakukan orang itu lain sekali. Siapa kau?”.

“Aku orang yang biasa memberimu makanan,” ujar Abu Bakar.

“Bukan. Kau pasti bukan orang yang biasa memberiku makan. Aku yakin dia bukan kau,” jawab pengemis buta itu sembari membersihkan sisa makanan di bibirnya.

Si pengemis menjelaskan, ketika orang yang biasa memberikan makanan ke dirinya, ia begitu lembut dan santun.

Bahkan sebelum ia menyuapinya ke mulut pengemis itu, makanan itu terlebih dahulu dilumatnya. Kemudian, setelah itu, dengan lembut ia menyuapinya ke mulut pengemis tersebut.

“Ah aku sangat terasa bagaimana kebaikan dan kelembutan hati orang itu,” ujar si pengemis buta dengan wajah kecewa.

Apa yang dirasakan si pengemis buta, orang pertama yang telah memberinya makan berhati sangat qona’ah, dan begitu ikhlas melayaninya. Siapakah dia?

“Siapakah orang itu?” tanya pengemis buta itu sekali lagi.

Mendengar pertanyaan pengemis itu, perasaan Abu Bakar begitu sedih. Hatinya hancur karena orang yang dicintai dan disayangi para sahabatnya itu telah berpulang ke hadirat Allah SWT. Abu Bakar menangis. Air matanya begitu deras mengucur ke pipinya.

“Kau benar. Aku memang bukan orang yang biasa datang ke padamu. Orang yang sangat mulia itu sudah tiada. Ia telah pergi menghadap Allahurabbi,” ujar Abu Bakar tak mampu menahan kesedihan hatinya.

“Siapa dia?” tanya pengemis Yahudi yang buta itu. Ekspresi wajahnya begitu tegang. Bermacam ketegangan terlihat dari cahaya wajahnya yang penuh cambang dan kumis tebal tersebut.

“Siapa dia?” tanya si pengemis penasaran.

Abu Bakar As-Siddiq mengatakan bahwa orang termulia itu adalah Rasulullah SAW. Sesosok manusia teladan yang sangat disayangi keluarga dan para sahabatnya. Masya Allah !

Pengemis buta itu tertegun. Ia yang selalu memfitnah, mencaci, dan memburuk-burukkan eksistensi Rasulullah SAW, sangat menyesal. Tanpa ia sadari, air matanya mengucur deras. Ia menangis penuh penyelesaiannya. Ah aku sangat menyesal, begitu kata hatinya berbisik.

Si pengemis mendongak ke depan. Ekspresinya sulit diprediksi. Selain basah air mata. Dari mulutnya terucap, Rasulullah ya Rasulullah. Engkau begitu qona’ah. “Maafkan aku ya Rasul. Aku selalu mencaci-makimu. Aku selalu memburuk-burukkan dirimu, tapi kau tak bereaksi. Bahkan dengan hati bersih dan begitu ikhlas, kau memberikan makanan, ya Rasul. Kau begitu mulia ya Rasulullah,” ucapnya sembari menangis penuh sesal.

Di hadapan Abu Bakar As-Siddiq, pengemis buta itu bersahadat. Ia menyatakan masuk Islam. Ternyata ajaran Rasulullah SAW yang ia lecehkan selama ini adalah pengajaran akhlak yang teramat mulia. Rasulullah ya Rasulullah, terima kasih.

11 April 2022

By : Anto Narasoma