HALOPOS.ID – Kabar buruk menyerang Eropa bertubi-tubi. Yang terbaru, Benua Biru berisiko mengalami krisis mata uang setelah kurs poundsterling ambruk.
Pada perdagangan Jumat (23/9/2022) nilai tukar poundsterling Inggris ambrol hingga 3,5% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke US$ 1.0856/GBP pada perdagangan Jumat pekan lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam 37 tahun terakhir.
Rekor terlemah poundsterling tercatat di US$ 1,0520 yang tercatat pada 26 Februari 1985. Artinya, poundsterling kini berjarak 3% saja dari rekor terlemah. Sepanjang tahun ini, poundsterling sudah ambrol nyaris 20%.
Ambruknya poundsterling terjadi setelah pemerintah Inggris mengumumkan era baru perekonomian yang berfokus pada pertumbuhan, termasuk pemangkasan pajak serta insentif investasi untuk dunia usaha.
Paul Johnson, direktur Institute for Fiscal Studies, mengatakan pasar terlihat “ketakutan” dengan skala “hadiah fiskal” yang diberikan, apalagi pemangkasan pajak yang dilakukan menjadi yang terbesar dalam setengah abad terakhir.
Para pelaku pasar khawatir utang Inggris akan kembali meningkat, Padahal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini lebih dari 100%, tertinggi dalam 60 tahun terakhir.
Analis dari Citi mengatakan, Inggris risiko mengalami krisis mata uang, sebab poundsterling bisa ke bawah level paritas (GBP 1 = US$ 1)
Kurs euro sudah lebih dulu berada di bawah level paritas. Mata uang 19 negara ini berada di level terlemah dalam 20 tahun terakhir. Euro juga merosot nyaris 15% sepanjang tahun ini.
mata uang juga terjadi di Jepang. Pada pekan lalu, Kurs yen sempat menyentuh JPY 145,89/US$ yang merupakan level terlemah sejak Agustus 1998. Yen menjadi salah satu mata uang terburuk di tahun ini dengan pelemahan nyaris 25%.
Pemerintah Jepang yang sudah gelisah dalam beberapa pekan terakhir melihat pergerakan yen akhirnya mengambil tindakan tegas.
Intervensi pun dilakukan, pertama kalinya sejak 1998.
“Kami telah mengambil tindakan tegas” kata Wakil Menteri Keuangan Jepang untuk urusan international, Masato Kanda kepada wartawan ketika ditanya mengenai intervensi, sebagaimana dilansir, Kamis (22/9/2022).
Jebloknya nilai tukar mata uang bisa berdampak buruk, selain beban pembayaran utang yang akan membengkak, inflasi bisa bertahan di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga memberikan masalah dalam jangka panjang.
Tidak seperti mata uang Eropa dan Jepang, pelemahan rupiah tidak terlalu besar. Pada pekan lalu rupiah berakhir di Rp 15.035/US$, level terlemah dalam 2 tahun terakhir. Sepanjang tahun ini pelemahannya tercatat sebesar 5,5%.
Rupiah diuntungkan oleh tingginya harga komoditas yang membuat neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 28 bulan beruntun. Transaksi berjalan (current account) pun ikut surplus, yang membuat rupiah menjadi lebih stabil.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan triple intervention guna menstabilkan rupiah.
Selama harga komoditas masih tetap tinggi, rupiah stabilitas rupiah masih akan tetap terjaga. Apalagi, BI juga sudah mulai menaikkan suku bunga, bahkan pada pekan lalu sebesar 50 basis poin menjadi 4,25%.
Namun, patut diwaspadai isu resesi yang membuat harga komoditas merosot, di sisi lain dolar AS akan menjadi primadona karena menyandang status safe haven. (**)