Penulis:
JUANDINHO DWANTARA YOSUA MONDONG
HALOPOS.ID – Popularitas Thrifting di Indonesia bagi kalangan muda saat ini, thrifting sudah bukan menjadi hal yang asing untuk didengar. Berangkat dari adanya perkembangan fashion sesuai zaman, thrifting menjadi cara alternatif dan populer dalam memenuhi kebutuhan fashion melalui pembelian barang bekas layak pakai dengan harga yang murah.
Melansir dari survey data.goodstats.id dikutip Kamis (28/11/2024). Mayoritas masyarakat Indonesia pernah melakukan thrifting. Diketahui bahwa sebanyak 49,4% masyarakat Indonesia pernah melakukan thrifting, sedangkan 34,5% masyarakat Indonesia belum pernah melakukan thrifting dan 16,1% tidak akan melakukan thrifting.
Menilik realita tersebut, tentu hal ini tidak mengherankan mengingat harga barang thrifting yang cenderung murah dengan kualitas masih layak pakai. Ditambah pula dengan hadirnya online shop pada era digitalisasi sekarang yang memudahkan pembelian barang thrifting, serta kecenderungan masyarakat untuk selalu update dan mengikuti perkembangan dalam gaya berpakaian.
Adanya kondisi ini membuat thrifting muncul sebagai tren dalam masyarakat Indonesia dan menimbulkan bisnis thrifting yang menjamur. Namun walau demikian, ironisnya thrifting memiliki keburukan yang tidak diketahui banyak orang. Selain itu, bisnis thrifting juga memiliki “bahaya” tersendiri dilihat dari legalitas hukumnya.
Legalitas dan Bahaya Thrifting
baik diketahui bahwa barang thrifting merupakan barang hasil impor yang berasal dari luar negeri. Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 mencatat bahwa Indonesia telah melakukan impor atas pakaian bekas sebanyak 26.22 ton, meningkat secara signifikan dari tahun sebelumnya, yakni tahun 2021 yang hanya sebanyak 8 ton.
Namun, barang thrifting yang diimpor sejatinya merupakan limbah pakaian luar negeri atau disebut ballpress dalam dunia perdagangan luar negeri. Untuk itu, impor barang bekas secara hukum dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 sehingga dari legalitasnya, thrifting termasuk sebagai kegiatan yang ilegal.
Alasan utama dibalik pertanyaan mengapa larangan atas impor barang bekas diterapkan adalah untuk melindungi kepentingan dalam negeri. Menjamurnya bisnis thrifting dengan harga yang murah dapat menghancurkan industri pakaian dalam negeri, yang kemudian dapat berdampak pada menurunnya daya jual produk lokal.
Dampak ini dirasakan secara nyata, terutama bagi UMKM yang bergerak dalam bidang tekstil. Trend thrifting melalui pembelian pakaian bekas membuat UMKM dalam negeri kalah bersaing. Hal ini tentu tidak sehat bagi perekonomian nasional karena berpotensi menurunkan jumlah lapangan kerja yang berkesinambungan dengan menurunnya daya beli masyarakat.
Disamping tidak sehat bagi perekonomian nasional, thrifting juga buruk bagi kesehatan pembeli yang memakainya. Pakaian bekas yang diimpor sebagai limbah memiliki bahaya kesehatan bagi pengguna pakaian karena tidak diketahuinya kondisi individu pemakai sebelumnya. Kondisi ini berpotensi menyebabkan terjadinya penyebaran virus dan menimbulkan penyakit seperti Kudis, Herpes Simpleks, dan infeksi bakteri lain pada pemakai.
Pencegahan thrifting oleh Pemerintah
Menyadari urgensi atas “bahaya” yang dapat timbul akibat thrifting, upaya yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk pencegahan adalah dengan menetapkan sanksi. Berdasarkan Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Perdagangan, sanksi penjara paling lambat 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar akan dikenakan bagi pelaku bisnis thrifting.
Selain sanksi, pengawasan juga dilakukan dalam mencegah thrifting di Indonesia. Larangan impor barang bekas dilakukan oleh Bea Cukai sebagai instansi pemerintah yang memiliki fungsi community protector melalui pengawasan yang berdasarkan Lartas (Larangan dan Pembatasan) terhadap barang luar negeri yang masuk ke Indonesia. Namun, Bea Cukai menghadapi tantangan dalam melakukan Lartas terhadap impor barang bekas.
Hal ini dikarenakan pembelian secara thrifting di Indonesia sendiri yang meningkat dan bahkan sudah menjadi tren, menandakan adanya permintaan thrifting yang tinggi sehingga menyebabkan penawaran yang tinggi pula melalui penjamuran bisnis thrifting yang sekaligus meningkatkan frekuensi penyelundupan barang ilegal.
Penyelundupan impor pakaian bekas untuk kebutuhan thrifting sering kali dilakukan pada titik-titik yang belum atau sulit terjangkau oleh Bea Cukai. Belum lagi kondisi geografis Indonesia yang merupakan kepulauan sehingga menyebabkan Indonesia memiliki banyak titik rawan seperti pelabuhan yang tidak tercatat sebagai saluran penyelundupan. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang lebih diintensifkan dan lebih di ekspansikan oleh Bea Cukai untuk melindungi kepentingan dalam negeri dari ancaman yang timbul akibat impor ilegal, khususnya terkait impor pakaian dan barang bekas yang ditawarkan dalam bentuk thrifting.
Sadar masyarakat untuk menekan thrifting
Melihat dari “bahaya” yang dapat ditimbulkan karena impor barang ataupun pakaian bekas, menjadi jelas bahwa upaya mencegah barang ilegal masuk ke dalam negeri bukan menjadi tanggung jawab pemerintah atau Bea Cukai saja, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Maka dari itu, perlu adanya pemahaman masyarakat bahwa thrifting adalah cara bergaya yang berbahaya sehingga masyarakat dapat sadar untuk menghindari dan menekan thrifting.
Tren bergaya dengan fashion sesuai zaman akan selalu hadir seiring dengan berjalannya waktu, namun bukan berarti perlu diikuti secara buta tanpa etika melalui cara apapun, termasuk cara ilegal. Dengan demikian, sudah sebaiknya produk dalam negeri lebih diutamakan dan digunakan dalam memenuhi kebutuhan bergaya karena memiliki kualitas yang terjamin, harga sesuai dengan situasi perekonomian nasional, dan pastinya legal berdasarkan hukum. (*)