Sri Mulyani Punya Trik untuk ‘Pensiunkan’ Batu Bara di RI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Indonesia – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia mengajak Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) dalam pembiayaan penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara.

Sri Mulyani menjelaskan, dalam memberhentikan operasi PLTU Batubara, Indonesia menggandeng ADB untuk melakukan studi kelayakan dan rancangan penerapan mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM).

ETM, diklaim Sri Mulyani merupakan program yang ambisius yang akan mampu meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil dan terjangkau.

Dalam mengejar komitmen Indonesia menuju Net Zero Emissions (NZE) pada 2060, Sri Mulyani mengungkapkan terjangkau atau tidaknya transisi energi dapat dilihat dari kemampuan membayar masyarakat dan industri, serta perluasan akses energi.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga mengungkapkan akan mempertimbangkan kemampuan APBN untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29% di tahun 2030 dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional.

“Hal lain yang juga harus dipertimbangkan adalah kemampuan APBN untuk mendukung transisi ini, baik dalam bentuk subsidi atau insentif, pembiayan modal untuk energi baru dan terbarukan, transmisi, distribusi, serta penerimaan negara,” jelas Sri Mulyani dalam siaran resminya, dikutip Kamis (4/11/2021).

“Apabila negara berkembang ingin lebih ambisius, kita harus segera melaksanakan ETM yang sudah kita mulai dengan ADB ini,” ujarnya lagi.

Sri Mulyani mengungkapkan, pemerintah Indonesia menyadari bahwa bagi negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara.

Siapkan Langkah-Langkah

Pemerintah berkomitmen untuk membangun infrastruktur energi yang berkelanjutan. Sri Mulyani Indrawati telah menyusun ‘jurus pamungkas’ pembiayaan menuju transisi energi terbarukan.

Sri Mulyani menjelaskan, Indonesia sebagai negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, pihaknya bersama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merumuskan berbagai kebijakan.

Salah satu yang akan dilakukan pemerintah yakni melakukan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, dan dalam waktu bersamaan membangun energi alternatif yang lebih hijau.

Nah, dalam misinya tersebut, kata Sri Mulyani, melalui penerapan mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM), akan mengantarkan Indonesia lebih dekat kepada pencapaian target Indonesia.

Target pemerintah yakni berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29% pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Serta menuju emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) paling lambat pada 2060.

ETM sendiri merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batubara dan membuka investasi untuk energi bersih.

“Saat ini, ADB (Asian Development Bank) sedang melakukan analisis kelayakan implementasi ETM terhadap beberapa PLTU di Indonesia, setelah sebelumnya melalui tahapan studi pra-kelayakan,” ujar Sri Mulyani melalui siaran resminya, Kamis (4/11/2021).

Agar ETM bisa berlangsung secara efektif, Sri Mulyani mengatakan, dirinya sudah menetapkan tiga indikator atau skema yang akan ditetapkan sebagai pedoman. Tiga pedoman ini yang akan dipegang oleh Sri Mulyani dalam merancang ekonomi ‘hijau’.

Pertama, dibutuhkan pembiayaan untuk mengurangi aktivitas yang membutuhkan sumber daya batubara. ETM harus membantu mobilisasi dana dengan biaya yang lebih murah untuk penghentian pembangkit listrik batu bara atau membuatnya menjadi lebih murah.

Kedua, dibutuhkan juga pembiayaan yang rendah biaya untuk membangun energi terbarukan sebagai respons dari permintaan yang terus bertumbuh. Oleh sebab itu, diklaim Sri Mulyani ini adalah investasi dua sisi yang dibutuhkan untuk menghilangkan polluter serta membangun energi yang baru dan lebih bersih.

“Kita sedang dalam proses berbicara dengan para pekerja dan produsen ini dan diskusinya berlangsung cukup produktif,” tuturnya.

“Indonesia juga sudah memiliki regulasi pengaktif atau enabling environment agar segala pembiayaan untuk membiayai dengan berbagai skema, termasuk kerangka regulasi yang diperlukan,” kata Sri Mulyani melanjutkan.

Ketiga, Indonesia perlu membangun bauran kebijakan dari perspektif ekonomi politik untuk mendukung ETM. Oleh karena itu, Indonesia juga membentuk mekanisme pasar untuk karbon dan memperkenalkan mekanisme cap and trade, harga karbon, dan pajak karbon.

Seperti diketahui melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon akan diimplementasikan secara bertahap, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kebijakan terkait seperti pembangunan pasar karbon.

Indonesia akan memulai dengan harga karbon yang sangat rendah yaitu sekitar US$ 2 (Rp 30 ribu) per ton emisi CO2 di tahun 2022-2024.

Selanjutnya, di tahun 2025 ke atas dengan perluasan secara bertahap ke sektor yang merupakan subjek pajak karbon setelah sektor tersebut telah siap dan sudah mengimplementasikan pasar karbon.

“Dengan ETM, Indonesia kembali melakukan langkah baru yang signifikan. Oleh sebab itu Indonesia ingin melaksanakannya dengan baik, dengan skenario yang kredibel serta mengkomunikasikannya secara jelas pada pemangku kepentingan domestik terutama sektor usaha,” jelas Sri Mulyani.

Editor: Hendra P