HALOPOS.ID – Sri Lanka benar-benar babak belur pada tahun ini. Setelah dinyatakan bangkrut, ekonomi negara Asia Selatan itu terus merosot.
Berdasarkan data dari Departemen Statistik Sri Lanka yang dirilis Kamis (15/9/2022), pertumbuhan PDB Sri Lanka pada kuartal ii-2022 tercatat -8,4%. Koreksi itu menjadi yang terburuk dalam 7 dekade terakhir.
“Ini adalah kontraksi tertajam kedua yang pernah kami lihat. Terakhir adalah ketika Sri Lanka membukukan pertumbuhan negatif 16% pada Q2 tahun 2020 karena penguncian pandemi Covid-19,” kata Dimantha Mathew, Kepala Riset First Capital, dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, Sri Lanka pun telah dinyatakan bangkrut. Hal ini disebabkan oleh kesalahan pengelolaan ekonomi saat pandemi covid-19. Masyarakatnya harus menanggung beban berat, bahkan hanya untuk mendapatkan makanan, bahan bakar hingga obat-obatan.
Untuk diketahui, Sri Lanka yang berpenduduk 22 juta orang telah mengalami pemadaman listrik selama berbulan-bulan, rekor inflasi, kekurangan makanan, bahan bakar dan obat-obatan. Sejak akhir tahun lalu, negara ini kehabisan devisa untuk membiayai impor yang paling penting sekalipun.
Pada April lalu, Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya sebesar US$51 miliar (Rp 760,3 triliun) dan membuka pembicaraan dana talangan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sejauh ini, IMF sudah sepakat untuk memberikan suntikan US$ 2,9 miliar. Akan tetapi, beberapa persyaratan harus dipenuhi. Salah satunya merestrukturisasi utang dengan pemegang obligasi swasta dan kreditor bilateral sebelum mendapatkan pencairan.
Meski demikian, Mathew melihat pemulihan Sri Lanka dari krisis masih berat. Dua kuartal ke depan diperkirakan ekonomi negara berpenduduk 222 juta orang tersebut akan tetap negatif.
“Kami memperkirakan pertumbuhan Q3 dan Q4 menjadi negatif juga dan untuk pertumbuhan keseluruhan berkontraksi sebesar 10% hingga 12%. Inflasi terus tumbuh di Q3 dan telah memukul konsumsi sektor swasta, yang kemungkinan akan meluas ke kuartal keempat.”
Gejolak Sosial
Kondisi ekonomi yang hancur-hancuran itu juga telah menimbulkan gejolak sosial tinggi di masyarakat.
The Morning melaporkan sejumlah wanita ‘terpaksa’ harus beralih profesi menjadi pekerja seks, dengan tujuan bisa mendapatkan makanan dan obat-obatan untuk keluarganya. Jumlah pekerja seks negara itu pun dilaporkan mengalami kenaikan.
Berdasarkan data kelompok advokasi pekerja seks setempat, Stand Up Movement Lanka (SUML), jumlah wanita yang menjadi PSK selama waktu krisis, melonjak sekitar 30%. Kebanyakan berasal dari industri tekstil, karena banyak pesanan luar negeri menghilang mencapai 10%-20%.
The Morning juga melaporkan perdagangan seks berkembang dengan pesat di dekat Bandara Internasional Bandaranaike Kolombo. Diduga lokasi tersebut dilindungi dan peraturan polisi, para wanita dipaksa nyonya rumah bordilnya untuk tidur dengan petugas sebagai pengganti keamanan.
Laporan tersebut juga mengatakan para wanita pekerja seks melakukan hubungan yang tidak aman karena desakan klien dari akademisi hingga anggota mafia. Sebab mereka tidak punya pilihan lain akibat pekerjaan menurun tajam di bidang pertanian.
“Para wanita ini sangat putus asa untuk menghidupi anak-anak mereka, orang tua atau bahkan saudara mereka dan pekerjaan seks adalah salah satu dari sedikit profesi yang tersisa di Sri Lanka yang menawarkan banyak keuntungan dan uang cepat,” kata Direktur Eksekutif SUML, Ashila Dandeniya. (**)