HALOPOS.ID|PAKEMBANG – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh sebelas orang masyarakat melalui Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK) dan didukung oleh Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi terhadap tiga perusahaan kehutanan di Sumatera Selatan—PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Permai Wood Industries (SBAWI)—hari ini memasuki tahap kesimpulan di Pengadilan Negeri Palembang.
Ketiga perusahaan tersebut, yang bergerak di bidang pemanfaatan dan pengelolaan hutan tanaman industri, menyampaikan bahwa selama ini mereka telah menjalankan operasional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini antara lain tercermin dari kepatuhan mereka dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kehutanan yang mencapai lebih dari 40 miliar rupiah hingga tahun 2024, serta kontribusi mereka terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dengan total lebih dari 1.800 pekerja aktif.
*Gugatan dan Klaim Kerugian yang Dipersoalkan*
Gugatan yang dilayangkan berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang diduga terjadi di area konsesi perusahaan pada tahun 2015, 2019, dan 2023. Para penggugat menuntut ganti rugi sebesar Rp 643 juta atas kerugian materiil dan Rp 110 miliar atas kerugian immateriil akibat paparan asap.
Namun, *kuasa hukum dari ketiga perusahaan, Armand Hasim*, menilai bahwa gugatan tersebut mengandung sejumlah kelemahan mendasar. Ia menyebut bahwa tidak ada bukti riil yang diajukan oleh pihak penggugat untuk menunjukkan kerugian materiil yang dialami oleh masing-masing individu. Selain itu, titik-titik koordinat lokasi kebakaran tidak disebutkan secara rinci, dan pembuktian hanya berdasarkan tangkapan layar citra satelit yang menurut ketentuan hukum masih memerlukan verifikasi lapangan.
“Kami mempertanyakan dasar hukum dan bukti nyata yang diajukan. Kerugian materiil harus bisa dibuktikan satu per satu, tidak bisa hanya menyebut total kerugian kolektif. Kami khawatir gugatan ini semata-mata untuk menjatuhkan reputasi klien kami yang dapat mengganggu operasional, dengan berkedok lingkungan hidup untuk mencari simpati publik,” pungkas Armand.
*Pendapat Ahli dan Saksi Persidangan*
Dalam persidangan, *Ahli Hukum Perdata, Sutoyo, SH., M.Hum*, turut memberikan keterangan sebagai ahli hukum perdata. Ia menegaskan bahwa gugatan semestinya dirinci secara jelas mengenai sumber asap, pihak yang menyebabkan asap, dan keterkaitannya dengan kerugian yang dialami. Menurutnya, gugatan yang hanya berdasarkan teori dan asumsi tanpa bukti konkret tidak memenuhi syarat hukum.
Sementara itu, *H. Iriansyah, mantan Kepala BPBD Sumatera Selatan*, memaparkan bahwa kebakaran pada tahun-tahun tersebut banyak dipengaruhi oleh fenomena El Niño yang menyebabkan kekeringan ekstrem. Ia menambahkan bahwa kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan cara membakar juga menjadi faktor utama terjadinya karhutla, mengingat 60–70% masyarakat di Sumsel berprofesi sebagai petani dan pekebun.
“Perusahaan seperti PT BMH, BAP, dan SBAWI telah memiliki sarana lengkap untuk pemadaman karhutla dan bahkan turut membantu pemerintah, termasuk dalam pengadaan helikopter water bombing,” ungkap Iriansyah.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh *Ahli Klimatologi dan Meteorologi Dr. Idung Risdiyanto* yang menyebut bahwa El Niño berperan signifikan dalam peningkatan risiko karhutla dalam periode tersebut.
*Pertanyakan Motif dan Kepatuhan Prosedural*
Kuasa hukum perusahaan juga menyoroti perubahan jumlah penggugat dari semula 12 orang menjadi 11 orang setelah salah satu penggugat mencabut kuasa hukumnya. Selain itu, selama proses mediasi, kehadiran ke-11 penggugat tidak pernah dipenuhi oleh tim kuasa hukum PADEK, meskipun kehadiran tersebut diwajibkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Mediasi.
“Jika benar untuk kepentingan masyarakat, seharusnya para penggugat hadir dan berdialog. Tapi hingga mediasi selesai, tak satu pun hadir,” tegas Armand. Ia juga menyoroti bahwa berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2023, gugatan warga negara atas perkara lingkungan haruslah ditujukan untuk kepentingan umum, bukan untuk meminta ganti rugi pribadi.
Tindakan Greenpeace Indonesia yang bertindak sebagai penggugat intervensi dalam gugatan ini juga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan, karena mendukung gugatan individu, bukan gugatan untuk kepentingan lingkungan secara umum.
*Perusahaan Tegaskan Komitmen Lingkungan*
Ketiga perusahaan menyatakan komitmennya terhadap upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan. Selain memiliki infrastruktur lengkap, mereka secara aktif melakukan patroli, pelatihan bersama TNI/Polri, serta terlibat dalam apel siaga karhutla bersama pemerintah provinsi dan instansi terkait.
“Jika tujuan dari gugatan ini adalah untuk menjatuhkan reputasi perusahaan atau bahkan menghentikan operasional, maka dampaknya akan sangat luas, termasuk pada ribuan tenaga kerja dan kontribusi terhadap penerimaan negara,” pungkas Armand.
Sidang hari ini menjadi tahap akhir sebelum putusan dibacakan dalam waktu yang akan ditentukan kemudian oleh Majelis Hakim. Ketiga perusahaan berharap agar proses peradilan dapat berjalan adil dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. (Rilis)