Widya Astin S.Sos ( Anggota Serikat Petani Indonesia)
Pelaksanaan Reforma Agraria di perkotaan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria bisa dilakukan melalui legalisasi aset, redistribusi tanah, pelaksanaan distribusi manfaat, dan konsolidasi tanah,”
Pemahaman utama bahwa reforma agraria adalah untuk mengatasi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah serta memberikan hak atas tanah utamanya pada masyarakat tani, tidaklah berarti mengecilkan pentingnya penataan pertanahan di perkotaan dengan konteks permasalahannya yang kompleks.
Hal ini mengingat bahwa persentase penduduk Indonesia di perkotaan semakin meningkat.
Dalam satu dekade terakhir naik 6,9%, atau dari 49,8% (2010) menjadi 56,7% (2020). Pada 2030 diperkirakan 63,4%. Lima daerah dengan jumlah populasi terbesar di perkotaan adalah DKI Jakarta (100%), Kepulauan Riau (83,3%), Jawa Barat (78,7%), DI. Yogyakarta (74,6%), Bali
(70,2%) (BPS 2020).
Reforma Agraria Perkotaan
Reforma agraria di perkotaan dapat diwujudkan dalam bentuk alokasi tanah pemukiman untuk kelompok rentan secara sosial-ekonomi, penataan kawasan kumuh perkotaan, konsolidasi tanah, penyediaan tanah untuk lingkungan bersih dan pengelolaan sampah publik atau komunitas yang memang benar-benar menjadi masalah utama di perkotaan.
Secara normatif, reforma agraria untuk perkotaan dan penggunaan non-pertanian telah terbuka ruangnya melalui Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pasal 8 (b) berisi tentang redistribusi tanah untuk non-pertanian, dan Pasal 12 (b) tentang Hak Milik Bersama.
Kajian terhadap reforma agraria perkotaan juga telah dilakukan. Urgensitas reforma agraria di wilayah metropolitan berangkat dari fenomena persaingan yang tidak adil antara alokasi tanah untuk pemukiman warga mayoritas kelas bawah dengan alokasi tanah yang bersifat akumulatif dan pencadangan (land banking) oleh para pengembang properti.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan reforma agraria (RA) sebagai program strategis nasional yang langsung dimonitor oleh Presiden Joko Widodo. Akan tetapi agenda reforma agraria jarang sekali didesain untuk dilaksanakan di wilayah perkotaan.
Program Pembaruan Agraria Nasional di Surakarta, sebagai contoh dari pelaksanaan reforma agraria perkotaan. Kegiatan berupa penataan aset (tanah dan bangunan) dan akses masyarakat miskin di Kampung Kragilan, Ketelan, dan Setabelan Banjarsari, Kota Surakarta
(Mulyani [ed.] 2012; Mulyani 2015).
Dalam konteks sekarang penting kiranya memikirkan lebih serius reforma agraria perkotaan melalui kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA): desain kegiatan dalam merespon permasalahan perkotaan utamanya kampung kumuh, lingkungan dan pengelolaan sampah; dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendukung serta memperlambat implementasinya.
Secara hipotetis faktor-faktor yang turut memengaruhi kinerja reforma agraria adalah faktor pengetahuan, kelembagaan, dan kekuasaan (Luthfi 2019). Dari sisi pengetahuan, pemahaman dan desain kegiatan reforma agraria harus menghindari klise, kontekstual dan
sesuai dengan tujuan dasarnya.
Secara politik kegiatan reforma agraria sebetulnya dapat lebih bersifat full power sebab melibatkan kekuatan pemerintah pusat-daerah. Asalkan, kekuatan itu tidak malah menjadi kontra-reforma bagi agenda tersebut. Pemerintah juga bukan entitas yang tunggal, sehingga tantangannya secara kelembagaan adalah menjalin koordinasi produktif sehingga lahir kesepakatan dan desain bersama (road map).
Masyarakat juga tidak boleh tinggal diam sebab kini dibuka secara partisipatif pelaporan usulan tanah obyek reforma agraria melalui website SIGTORA Kementerian ATR/BPN.
Untuk menyelesaikan masalah agraria perkotaan di Palembang maka diperlukannya kerjasama antar pihak untuk memutus rantai konflik agraria yang terjadi di Kota Palembang dengan ketegasan dan keseriusan Pemkot dalam menyelesaikan masalah reforma agraria, serta perlunya keterlibatan pihak luar seperti akademisi, aktivis, organisasi yang peduli dan bergerak dibidang reforma agraria.
Beberapa contoh konversi gedung-gedung pemerintah atau milik negara menjadi perumahan bagi penduduk miskin atau berpenghasilan rendah :
1. Hong Kong Di Hong Kong, pemerintah telah mencoba mengubah gedung-gedung pemerintah atau milik negara yang tidak lagi digunakan atau tidak terpakai menjadi perumahan bagi warga dengan pendapatan rendah. Contoh termasuk “Old Civil Servants Quarters” di North Point yang direvitalisasi menjadi perumahan bersubsidi, serta proyek-proyek serupa di berbagai lokasi lainnya.
2. Brasilia, Brasil. Di Brasília, ada upaya untuk mengubah bangunan perkantoran pemerintah yang tidak terpakai menjadi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
3. Australia. Pemerintah Australia telah mendukung konversi bangunan-bangunan pemerintah yang tidak terpakai menjadi nerumahan melalui program”Commonwealth Property Disposals.”
4. Afrika Selatan: Di Cape Town, ada program untuk mengubah bangunan pemerintah lama dan terlantar menjadi perumahan sementara untuk warga yang membutuhkan tempat tinggal.
5. Malaysia: Program “Rumah Idaman Rakyat” (RIR) mencakup upaya konversi gedung-gedung pemerintah yang tidak digunakan menjadi perumahan untuk rakyat Malaysia.
Pada akhirnya bertujuan untuk menolong rakyat kecil, mewujudkan keadilan dan meniadakan atau setidaknya mengurangi ketidakmerataan. (*)