HALOPOS.ID|JAKARTA –“Kiamat” tenaga kerja bukan isapan jempol. Ini terjadi di banyak negara saat ini, mulai dari tetangga Malaysia, Australia, Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang hingga Inggris.
Perekonomian dunia yang mulai pulih dari pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat tingkat produksi mulai menggeliat. Tetapi korporasi kini menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja.
Berdasarkan riset dari perusahaan konsultan global, Korn Ferry, hingga 2030 diperkirakan akan ada 85 juta lowongan pekerjaan yang tidak akan terisi. Secara umum penyebabnya dikatakan kurangnya tenaga terampil untuk mengisi lowongan tersebut.
Randstad, konsultan sumber daya manusia multinasional asal Belanda, juga mengatakan demikian. Namun, penyebab kekurangan tenaga kerja di berbagai negara atau wilayah berbeda-beda.
Berdasarkan riset Randstad yang dirilis Mei lalu, di Amerika Serikat (AS) terhadap 11 juta lowongan pekerjaan. Sementara jumlah orang yang menganggur sebanyak 6,5 juta orang.
Hal yang sama juga terjadi di Eropa, di mana sebanyak 1,2 juta lowongan pekerjaan tidak mampu terisi. Di Australia, ada 400.000 lowongan kerja.
Dalam laporan itu, ada tiga sektor yang mengalami kelangkaan tenaga kerja. Meliputi:
Manufaktur
Menurut Randstad, sebelum pandemi menyerang para ahli sudah memprediksi secara global sektor manufaktur akan mengalami kekurangan tenaga keja hingga 8 juta orang. Saat ini, masalahnya menjadi lebih serius.
Di AS hingga 2030 sektor manufaktur diperkirakan akan mengalami kekurangan tenaga kerja sebanyak 2 juta orang. Sementara Inggris sedang menghadapi ‘kiamat’ tenaga kerja terparah dalam lebih dari 30 tahun terakhir.
Logistik
Sektor ini juga menjadi salah satu yang kesulitan mendapatkan pekerja. Bahkan ‘kiamat’ tenaga kerja di sektor logistik terjadi di seluruh dunia. Randstad mencontohkan, di AS sebanyak 80.000 kursi pengemudi truk lowong, di Inggris lebih banyak lagi, 100.000 kursi lowong.
Kesehatan
Selama pandemi Covid-19, sektor kesehatan menjadi yang paling ‘babak belur’. Sudah jamak diketahui, para pekerja di sektor kesehatan mempertarukan nyawa mereka selama pandemi.
Yang menarik, menurut Randstad pekerja di sektor ini kini mempertimbangkan meninggalkan pekerjaannya. Sebab, ketika pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya, mereka jam kerja mereka menjadi sangat panjang.
Dilema ‘Kiamat’ Tenaga Kerja dan Meningkatnya Angka Usia Kerja
Ketika banyak lowongan tenaga kerja yang sulit terisi, angka usia kerja di dunia dilaporkan naik. Namun, kesenjangan yang besar pada negara maju dan berkembang masih menjadi masalah.
Melansir data dari Organisasi Perburuhan International (ILO) pada laman resminya, angkatan kerja pada tahun ini berada di 59,3%. Ini melesat dari tahun sebelumnya di 39,73%.
ILO mendefinisikan angkatan kerja merupakan jumlah penduduk dengan usia yang sudah memasuki waktu kerja. Dimulai dari 15 tahun ke atas dan sedang mencari pekerjaan.
Melihat hal tersebut, hasil riset dari Korn Ferry terkonfirmasi. Kurangnya tenaga kerja terampil menjadi salah satu masalah yang membuat ‘kiamat’ tenaga kerja.
Randstad juga mengungkapkan hal yang serupa. Selain juga ada faktor gaji yang rendah, dan efek panjang dari pandemi Covid-19.
Jika menilik lebih dalam, ada kesenjangan antara angkatan kerja berdasarkan wilayahnya. Di Asia dan Pasifik, menjadi wilayah dengan jumlah angkatan kerja yang paling banyak berkisar dari 2% hingga 27%.
Berbeda dengan wilayah di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa. Angkanya hanya berkisar single digit persen.
Sementara itu, angka pengangguran menunjukkan tren menurun menjadi 5,9% di tahun ini. Menukik 6,18% pada tahun 2021.
Meski begitu, angka ini masih lebih tinggi daripada level pra-pendemi. Sebelum pandemi terjadi pada 2019, tingkat pengangguran dunia sempat mencapai level terendahnya sejak 1993 di 5,36%.
Namun, jika melansir Economic Times, selama kuartal pertama tahun 2022, jumlah jam kerja secara global turun menjadi 3,8% yang setara dengan defisit 112 juta pekerja penuh waktu.
“Pemulihan pasar tenaga kerja global telah berbalik arah. Pemulihan yang tidak merata dan rapuh telah dibuat lebih tidak pasti oleh kombinasi krisis yang memperkuat diri. Dampaknya terutama pada negara berkembang, dan dapat menyebabkan dislikasi sosial dan politik,” tutur Direktur Jenderal ILO Guy Ryder.
Dari laporan ILO, terdapat perbedaan besar antara ekonomi negara maju dan negara berkembang. Negara-negara berpenghasilan tinggi seperti negara maju mengalami pemulihan dalam jam kerja, tapi negara berkembang dengan ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah mengalami kemunduran pada kuartal pertama tahun ini.
Kesenjangan tersebut terjadi karena di beberapa negara berkembang, pemerintah semakin dibatasi oleh ruang fiskal dan tantangan keberlanjutan ekonomi. Sedangkan, di negara maju terjadi kenaikan tajam pada lowongan pekerjaan dan menyebabkan pengetatan pasar tenaga kerja, di mana pekerjaan yang tersedia relatif lebih besar terhadap pencari kerja.
Misalnya, AS, Departemen Tenaga Kerja melaporkan bahwa ada sebanyak 11,2 juta lowongan pekerjaan hingga akhir Juli 2022. Artinya, ada dua lowongan pekerjaan untuk setiap orang yang menganggur.
Hal serupa, tingkat pengangguran di Negeri Kanguru Australia, telah berada pada level terendah dalam 50 tahun terakhir di 3,4%. Dan, mereka mengalami kekurangan tenaga kerja karena penutupan perbatasan yang berlangsung lebih dari dua tahun selama pandemi sehingga memblokir akses ke pekerja potensial.
Padahal, menurut catatan Bank Dunia, Afrika Selatan banyak mencari kerja. Tingkat pengangguran menjadi yang tertinggi di dunia, mencapai 29,2%.
Sementara, Kosovo menduduki negara kedua dengan persentase sebesar 26,2%. Disusul oleh Djibouti dan Palestina dengan angka pengangguran masing-masing sebesar 26,1% dan 25,9%.
Direktur ILO Guy Ryder memperingatkan bahwa dampak pandemi yang berkepanjangan pada pasar tenaga kerja akan menimbulkan risiko dan mengancam prospek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Sehingga, masalah kesenjangan pasar tenaga kerja di dunia harus segara diselesaikan. (**)