HALOPOS.ID – Harga minyak melonjak. Dinamika terkait perang Rusia-Ukraina masih menjadi faktor utama penggerak harga si emas hitam.
Kemarin, harga minyak jenis brent ditutup di US$ 117,98/barel. Melesat 2,51% dari posisi hari sebelumnya.
Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 111,76/barel. Terangkat 2%.
Perkembangan konflik Rusia-Ukraina masih menjadi faktor utama penggerak harga minyak. Negara-negara G7 berencana untuk menentukan batas atas harga minyak dari Rusia.
Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara sekutunya memang sudah melakukan embargo terhadap minyak asal Negeri Beruang Merah. Namun itu tidak membuat minyak Rusia lantas tidak laku, karena ternyata masih ada yang membeli seperti China dan India.
Bahkan negara-negara Eropa masih membeli minyak dari Rusia. Embargo dari Uni Eropa berlaku secara bertahap sehingga minyak Rusia masih bisa diimpor.
Ini membuat Rusia masih bisa mendapatkan pemasukan dari ekspor minyak. Bulan lalu, negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu mendapatkan sekitar US$ 20 miliar dari ekspor minyak. Naik sekira US$ 1,7 miliar ketimbang April.
India kini menjadi negara tujuan ekspor minyak Rusia terbesar kedua, menggeser Jerman. Sementara China menduduki peringkat pertama.
Oleh karena itu, G7 (yang berkomitmen untuk mendukung Ukraina) terus mencari cara untuk melemahkan mesin ekonomi Rusia. Caranya adalah dengan menentukan batas atas harga minyak yang didatangkan dari Rusia.
Ini dilakukan menggandeng pihak jasa keuangan, asuransi, dan pengiriman minyak. Jadi untuk mengakses layanan-layanan tersebut, calon pembeli minyak Rusia harus sepakat nantinya menjual minyak dengan batas atas harga tertentu.
Pelaku pasar mengkhawatirkan Rusia justru akan semakin ‘panas’. Rusia bakal semakin mengurangi pengiriman minyak ke negara-negara Eropa yang merupakan sekutu AS. Akibatnya, pasokan kiat ketat sehingga harga terangkat.
“Tidak ada yang bisa menghentikan Rusia untuk melarang ekspor minyak dan produk-produk turunannya ke negara-negara G7 dalam rangka merespons sanksi pembatasan harga. Ini akan membuat kelangkaan pasokan semakin parah,” tegas Vivek Dhar, Analis Commonwealth Bank of Australia, seperti dikutip dari Reuters. (**)
Editor : Herwan