HALOPOS.ID – Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan pagi ini setelah akhir pekan lalu jatuh 5% dan berada di posisi terendah dalam 10 bulan.
Pada Senin (26/9/2022) pukul 05.47 WIB harga minyak Brent tercatat US$86,86 per barel, naik 0,82% dibandingkan akhir pekan lalu. Sementara jenis light sweet West Texas Intermediate naik 0,83% ke US$ 79,38 per barel.
ua jenis minyak mentah mencoba bangkit setelah akhir pekan lalu terpuruk karena dolar AS makin perkasa, di mana dolar AS menyentuh level tertingginya dalam lebih dari 20 tahun terakhir.
Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kinerjagreenbackterhadap enam mata uang dunia lainnya pada pekan lalu melesat 3,12%.
Hal ini membuat minyak tetpa dalam tekanan meskipun berusaha bangkit pada perdagangan hari ini. Jika dihitung dari puncaknya di US$125,28 per barel, harga minyak mentah global telah turun 30,85% secara point-to-point (ptp).
“Kami memiliki dolar yang meledak lebih tinggi dan menekan komoditas berdenominasi dolar seperti minyak dan meningkatnya kekhawatiran atas resesi global yang akan datang karena bank sentral menaikkan suku bunga,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York, sebagaiman dikutip dari Reuters.
Kebijakan moneter yang ketat mendorong dolar AS untuk melaju. Pada Rabu lalu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 3% – 3,25%, serta menegaskan sikap agresifnya.
Suku bunga The Fed kini berada di level tertinggi sejak awal 2008, dan masih akan dinaikkan hingga inflasi kembali ke 2%.
“FOMC (Federal Open Market Committee) sangat bertekad untuk menurunkan inflasi menjadi 2%, dan kami akan terus melakukannya sampai pekerjaan selesai,” kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana diansir
The Fed kini melihat suku bunga akan mencapai 4,6% (kisaran 4,5% – 4,75%) di tahun depan. Artinya, masih akan ada kenaikan 150 basis poin dari level saat ini.
“Harga minyak kembali ambruk karena kekhawatiran pertumbuhan global mencapai mode panik mengingat paduan suara komitmen bank sentral untuk memerangi inflasi. Tampaknya bank sentral siap untuk tetap agresif dengan kenaikan suku bunga dan itu akan melemahkan aktivitas ekonomi dan prospek permintaan minyak mentah jangka pendek,” kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA, dilansir dariReuters.