LPKSM Rajawali Mas Selesaikan Pertikaian Konsumen dan Leasing

Aktivis lembaga perlindungan konsumen Rajawali Mas saat diabadikan, setelah penyelesaian masalah penarikan sepeda motor warga di Yogyakarta. (Foto : Simon)
Aktivis lembaga perlindungan konsumen Rajawali Mas saat diabadikan, setelah penyelesaian masalah penarikan sepeda motor warga di Yogyakarta. (Foto : Simon)

HALOPOS.ID|YOGYAKARTA – Penarikan atau penyitaan kendaraan bermotor karena menunggak atau gagal pembayaran cicilan merupakan tindakan perusahaan pembiayaan atau multifinance yang sering terjadi di masyarakat.

Penyitaan tersebut sering menjadi perdebatan, karena masyarakat atau nasabah merasa terindimidasi, bahkan mendapat tindak kekerasan dari debt collector atau penagih.

Aksi main serobot kendaraan roda dua pun kembali terjadi, dan permasalahannya dimediasi oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Rajawali Mas, DIY, dengan pihak salah satu leasing. Salah seorang konsumen berinisial B, kala itu mengendarai sepeda motornya merk N-Max dari Jalan Nologaten, Babarsari, Kamis (23/1/2025).

Secara tiba-tiba, B didatangi tiga unit pengendara sepeda motor, dan dengan nada kasar, mempertanyakan STNK kendaraan milik B. Karena dibentak dan dengan rasa takut, akhirnya B pun menyerahkan sepeda motor tersebut kepada enam orang yang diduga sebagai Debt Collector (DC) itu. Oleh pihak DC, memaksa konsumen untuk menandatangani berita acara penyerahan kendaraannya. Ironisnya, konsumen tersebut tidak dikabari nomor telepon pihak DC yang bisa dihubungi, dan B hanya menerima secarik kertas berisi berita acara. Hingga akhirnya, kasus penarikan paksa kendaraan tersebut ditangani LPKSM YPK Rajawali Mas, yang ditangani oleh Krisna Triwanto dan Darsono.

“Bahwa kami dari LPKSM Rajawali Mas langsung meminta konsumen untuk merapat dan berkordinasi. Kami pertanyakan oknum DC nya siapa saja. Dan akhirnya kami pun mendapatkan informasi, bahwa DC bertugas di salah satu perusahaan penarikan,” ujar Krisna, Jumat (24/1/2025).

Berbekal informasi yang valid dari konsumen, akhirnya pihak perusahaan penarikan atau leasing berhasil ditemui pihak Rajawali Mas. Diketahui, kendaraan milik B telah diserahkan ke pihak penagihan.

“Kami selanjut menelepon pimpinannya leasing itu, dan kami disambut baik oleh pimpinannya bernama Agus. Dan benar adanya, sepeda motor sudah diserahkan ke pihak penagih,” ungkap Krisna.

Kemudian, para pengurus lembaga itu pun mendatangi perusahaan penagihannya yang beralamat di Jalan Timoho, Yogyakarta. Ketua LPKSM Rajawali Mas, Krisna hadir bersama Darsono sebagai Wakil Ketua dan Kabid Hukum, Muhammad Khaisar Aji Prasetyo. Dari sana, diperoleh informasi bahwa tunggakan konsumen sebesar enam puluh dua juta seratus sembilan ribu enam ratus sembilan puluh sembilan rupiah.

“Pihak perusahaan meminta harus dilunaskan semuanya. Jika dilunaskan, akan dikurangi sekian persen, dan konsumen dianggap masih diuntungkan. Konsumen pun dideadline maksimal 1 Pebruari 2025 untuk BPKB. Kemudian, motor dikembalikan ke konsumen. Itu kesepakatan kita,” sambungnya.

B pun menyanggupi pelunasan tunggakannya, denda dan bunga pun diputihkan alias dihapus, berdasarkan kebijakan perusahaan tersebut. Akhirnya, sepeda motor tersebut kembali ke pemiliknya B.

Menurut Khaisar Aji Prasetyo, pada dasarnya setiap perikatan keperdataan dalam hal perjanjian kredit, hutang piutang, maupun keperdataan lain ketika terdapat permasalahan keperdataan untuk penyelesaiannya tidak dibenarkan, dengan menggunakan tindakan kekerasan maupun pemaksaan secara verbal bahkan fisik.

“Kejadian seperti itu kerap terjadi, dan tidak dibenarkan dalam penarikan adanya upaya paksa. Ini kan permasalahan hutang piutang atau perdata. Harus diselesaikan dengan SOP-nya,” kata Khaisar.

Terlebih dalam hal ini tindakan perampasan motor oleh debt collector (DC) lapangan di jalan, merupakan tindak pidana pencurian yang dapat dijerat dengan pasal 365 KUHP. Dan jika debt collector memaksa dan mengancam untuk mengambil motor, maka tindakan tersebut dapat dijerat dengan pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan 365 KUH Pidana.

Karena apabila merujuk pada hukum KUHPerdata yang berlaku, apabila terjadi wanprestasi dalam perikatan dan guna melakukan penyitaan jaminan atau anggunan yang menjadi obyek perjanjian dalam bentuk apapun haruslah melalui gugatan keperdataan (Wanprestasi) di pengadilan negeri sesuai locus a quo dan juga dapat melakukan pengajuan permohonan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia atau obyek perjanjian terkait.

“Hal ini menjadi perhatian kita semua bahwa apabila penegakan hukum terus memotong kompas dengan tindakan-tindakan fisik diluar peradilan, tentu tidak akan pernah tercapai keadilan dan kenyamanan bagi semua masyarakat yang seharusnya diberikan perlindungan hukum yang adil,” tutup Khaisar. (SN)