HALOPOS.ID|JAKARTA – Judi Online (Judol) semakin marak terjadi di Indonesia. Fenomena ini menjadi salah satu masalah yang dicurigai telah menekan daya beli masyarakat. Kekhawatiran tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa ia tak menampik bahwa judol mungkin menjadi faktor yang menimbulkan daya beli masyarakat terganggu.
Sri Mulyani meyakinkan DPR, kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka fokus dalam penyelesaian persoalan ini. “Untuk pemerintah karena ini kan berarti kami gak kerja sendiri,” imbuhnya dikutip cnbcindonesia.com pada Kamis (14/11/2024).
Judi online membahayakan konsumsi karena bisa mengalihkan pendapatan. Uang atau pendapatan yang semula digunakan untuk membeli barang kemudian digeser untuk membayar judi.
Transaksi Judi Online di RI
Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang semester I-2024 nilai transaksi judi online di Indonesia telah mencapai Rp100 triliun. Sedangkan pada laporan Januari-Juli 2024 mencapai Rp174,5 triliun dengan 117 juta transaksi.
Peningkatan tertinggi terjadi pada 2020 ke 2021. Dari Rp15,7 triliun ke Rp57,9 triliun, yakni melonjak 267%.
Selain itu lonjakan 2022 ke 2023 juga cukup tinggi melonjak 213%. Angkanya dari Rp104,4 triliun menjadi Rp327 triliun.
Akumulasi perputaran uang selama 2023 terkait judi online itu pun sebesar 63% dari total perputaran uang yang PPATK catat sejak 2017 hingga 2023 sebesar Rp517 triliun.
Menanggapi hal ini, Menteri Kominfo pada Oktober lalu telah memberikan peringatan kepada kelima e-Wallet yang memfasilitasi aktivitas judol, Seperti Dana, Ovo, Gopay, LinkAja, dan Airpay. Kominfo melaporkan transaksi semua platform itu beragam dari puluhan ribu hingga jutaan dan nilainya mencapi Rp5 triliunan.
Kecurigaan soal transaksi judi online di dompet digital karena adanya aktivitas top up yang tiba-tiba melonjak. Mengingat transaksi itu sifatnya satu arah, hanya masuk tanpa ada transaksi keluar.
Judol dan Konsumsi Masyarakat
Pada Agustus silam, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengungkapkan biang kerok menurunnya daya beli masyarakat satu di antaranya ada judol.
Turunnya daya beli juga diikuti dengan semakin rendahnya angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia (BI) pada awal pekan ini.
BI telah merilis laporan survei konsumen yang menunjukkan bahwa IKK mengalami penurunan yakni menjadi 121,1 pada Oktober 2024 atau terendah sejak Desember 2022 (hampir dua tahun terakhir).
Jika dilihat lebih jauh, masyarakat bahkan telah makan tabungan (mantab) untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti makanan dan minuman.
Pada Oktober 2024, proporsi tabungan berada di angka 15%. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni September dan Agustus 2024 yang masing-masing di angka 15,3% dan 15,7%.
Bahkan proporsi Oktober 2024 ini merupakan yang terendah sejak Desember 2021 yang pada saat itu berada di angka 14,1% atau sekitar 1,5 tahun setelah pandemi Covid-19 terdeteksi di Indonesia sehingga cukup masuk akal ketika masyarakat cenderung mengeruk tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena rendahnya pemasukan akibat banyak perusahaan yang melakukan efisiensi (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK) agar tetap dapat bertahan di tengah situasi yang berat.
Makan tabungan ini terpaksa dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (konsumsi). Data yang dirilis oleh Mandiri Institute lewat Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa secara umum porsi terbesar belanja masyarakat masih untuk kebutuhan sehari-hari (23,6%).
Tidak hanya kebutuhan sehari-hari, porsi untuk restaurant, fashion, dan sport, hobby, entertainment tampak mengalami kenaikan.
Jika ditelisik lebih dalam, kelompok masyarakat lower memiliki proporsi belanja kebutuhan sehari-hari meningkat 2,7x dibanding di awal 2023, sementara kelompok middle meningkat 2x, dan kelompok upper meningkat 1,7x.
Sementara angka proporsi total belanja supermarket dan restaurant juga terus mengalami kenaikan setidaknya sejak Januari 2023 hingga November 2024 yakni dari 31,1% menjadi 42,7%.
Hal ini semakin mempertegas bahwa masyarakat semakin banyak menghabiskan uangnya untuk kegiatan konsumsi makanan & minuman.(*)