Jangan Abaikan Hak Ekologis Anak

JAKARTA — Anak-anak yang terpapar polusi udara atau zat berbahaya rentan mengalami gangguan saluran pernapasan dan masalah kesehatan lainnya yang mengancam tumbuh kembang mereka. Padahal, anak-anak memiliki hal untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat serta bebas dari polusi atau racun.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, upaya perlindungan anak mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Dokter spesialis anak Catharine Mayung Sambo mengutarakan, hak ekologis anak merupakan salah satu dimensi dalam upaya perlindungan anak karena dapat menjamin tumbuh kembang anak. Lingkungan sehat, bersih, dan aman seharusnya menjadi kondisi awal agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Hak agar anak memperoleh lingkungan yang bersih dan sehat perlu disikapi dengan serius karena masih banyak anak dan bayi yang mengalami kondisi kesehatan buruk. Menurut Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan, pada tahun 2019 dilaporkan 885.551 anak balita menderita pneumonia dan lebih dari 1,5 juta anak balita mengalami diare. Laporan yang sama juga menunjukkan 11,7 persen anak usia 0-23 bulan tercatat dalam kondisi kurus dan sangat kurus.

”Paru-paru anak masih sangat rentan terhadap berbagai iritan saat mereka sedang dalam fase tumbuh dan berkembang. Udara tidak sehat yang berisi logam berat atau zat beracun lainnya ketika sudah menempel di paru-paru anak biasanya sudah ireversibel atau tidak bisa disembuhkan kerusakannya,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Kemerdekaan dan Hak Ekologis Anak”, Sabtu (21/8/2021).

Mekanisme pertahanan tubuh anak juga akan terpengaruh jika mereka sudah terpapar udara dengan mutu buruk sejak dini. Anak tidak hanya akan mengalami gangguan saluran pernapasan, tetapi juga masalah kesehatan lainnya termasuk aspek neurologi atau otak dan sistem saraf. Pada akhirnya, anak sulit fokus bahkan bisa menderita gangguan saraf.

Udara tidak sehat yang berisi logam berat atau zat beracun lainnya ketika sudah menempel di paru-paru anak biasanya sudah ireversibel atau tidak bisa disembuhkan kerusakannya.

Selain berpengaruh langsung pada anak, kondisi lingkungan buruk juga dapat memengaruhi ibu hamil dan janinnya. Menurut Catharine, polusi udara dapat menyebabkan metilasi DNA pada janin ibu hamil. Pertumbuhan janin juga akan terhambat dan dapat meningkatkan kelahiran prematur dan tengkes (stunting) saat anak sudah mulai bertumbuh.

Agar semua pihak semakin mengetahui pentingnya permasalahan ini, Catharine menekankan agar pendidikan kesehatan lingkungan dan perubahan iklim dapat terus ditingkatkan. Di sisi lain, pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat jugaperlu dimulai sejak dini melalui contoh dan kebiasaan yang konsisten.

Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati melihat banyak sekali anak terdampak pembangunan. Hak mereka untuk hidup di lingkungan sehat belum terpenuhi. Ironisnya, sampai saat ini tidak ada data yang akurat terkait jumlah anak-anak korban polusi udara atau lingkungan yang buruk.

”Kami berharap pada pembuat keputusan untuk melakukan pendataan yang lebih baik dan akurat agar kita semua tahu bagaimana bisa membantu mereka. Tumbuh kembang anak sangat terpengaruh dari lingkungan yang sehat,” katanya.

Kandungan timbal

Selain polusi udara, kesehatan anak terancam dari penggunaan bahan-bahan berbahaya seperti timbal pada alat atau tempat bermain anak. Menurut Yuyun, kandungan timbal pada alat atau cat di tempat bermain anak ini tidak dapat dideteksi secara kasat mata dan harus dilakukan pengujian di laboratoium.

Pada tahun 2019, Nexus3 Foundation melakukan pengujian timbal pada 32 Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersebar di sejumlah wilayah di Jakarta. Hasilnya, rata-rata kandungan timbal pada alat bermain di RPTRA tersebut mencapai 4.000 juta per bagian (ppm). Ini sangat berbahaya bagi anak karena kandungan timbal yang aman hanya 90 ppm.

”Cat yang terdapat di RPTRA, khususnya yang mengelupas, ini kemungkinan mengandung timbal. Debu-debu dari cat dapat menempel di tangan anak dan terhirup saat bermain. Kandungan timbal ini tidak ada dalam kaleng cat dan kami terus mendesak agar ada peringatan dalam kaleng tersebut,” ucapnya.

Editor: Redaksi Halopos.id