HALOPOS.ID|BANYUASIN – Sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan surat duplikat akta nikah dengan terdakwa Ernaini binti Syaroni alias Syakroni kembali digelar di Pengadilan Negeri Pangkalan Balai, Senin (30/6/2025).
Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menegaskan bahwa kesaksian Ahmad Yani, mantan Kepala KUA Banyuasin III, dianggap tidak konsisten dan berubah-ubah.
Hal itu diungkapkan JPU usai mendengarkan keterangan Ahmad Yani yang dinilai tidak sinkron, baik dengan pernyataan terdakwa maupun keterangan sebelumnya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ketidaksesuaian itu tampak mencolok saat saksi memberikan jawaban atas pertanyaan dari majelis hakim maupun tim jaksa.
Sidang dengan nomor perkara 105/Pid.B/2025/PN Pkb tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Vivi Indrasusi Siregar dengan anggota Hari Muktyono dan Syarifa Yana.
Dalam keterangannya, Ahmad Yani menyebut Ernaini adalah bawahannya yang bertugas di seksi urusan nikah di KUA Banyuasin III. Karena jabatan Wakil PPN kosong saat itu, pertanggungjawaban dari seksi langsung mengarah ke dirinya selaku kepala KUA.
Ahmad Yani mengisahkan bahwa laporan tentang hilangnya buku nikah atas nama H. Basir disampaikan langsung oleh Ernaini. Ia kemudian menginstruksikan pencarian arsip serta pemenuhan dokumen pendukung, termasuk surat kehilangan dari kepolisian, sebagai syarat penerbitan duplikat akta nikah. Namun, Ahmad Yani mengaku baru mengetahui identitas H. Basir secara utuh setelah menerima somasi dari pengacara istri keempat H. Basir.
Dalam sidang tersebut, Ahmad Yani membenarkan bahwa ia yang menandatangani surat duplikat akta nikah yang kini dipermasalahkan. Ia juga mengklaim bahwa berkas yang diajukan lengkap, termasuk salinan arsip akta nikah tahun 1971 yang ditemukan bersama staf lain.
Namun, saat ditanya terkait pencatatan di buku register duplikat, Ahmad Yani mengaku buku register tahun 2009 telah hilang, dan ia tidak mengetahui keberadaan buku register tahun-tahun setelahnya. Ia beralasan, dokumen kemungkinan hilang karena kantor KUA kerap berpindah lokasi.
Pernyataan tersebut langsung dikritik oleh salah satu hakim anggota, Hari Muktyono. “Bahaya sekali ini, arsip-arsip banyak yang hilang,” ujarnya.
Majelis hakim juga menyinggung soal surat keterangan yang dikeluarkan pihak kelurahan sebagai dokumen pendukung dalam proses pembuatan duplikat. Menurut hakim, bila arsip asli masih tersimpan di KUA, keberadaan surat dari kelurahan menjadi tidak relevan. Ahmad Yani beralasan, surat tersebut hanya digunakan untuk mencocokkan dokumen yang ada.
Selain itu, Ahmad Yani juga mengakui bahwa dirinya termasuk dalam daftar pihak yang dilaporkan ke Polda Sumsel atas dugaan keterlibatan dalam perkara ini, meski menegaskan statusnya hanya sebagai saksi.
“Saya dilaporkan. Tapi saya hanya saksi,” katanya.
Di luar persidangan, kuasa hukum pelapor, Titis Racmawati, melontarkan kritik keras terhadap keterangan Ahmad Yani. Ia menilai pernyataan Yani tidak kredibel dan justru memperlihatkan adanya indikasi pelanggaran yang lebih serius.
“Kesaksiannya seperti obrolan di warung kopi, semua disebut lengkap tapi tidak bisa dibuktikan. Bahkan ia menyebut akta asli ada, lalu mengaku hilang, dan itu baru diketahui tahun 2023. Ini kepala KUA, bukan orang sembarangan,” cetus Titis.
Titis juga menyoroti kemungkinan adanya unsur pidana korupsi. Ia menyebut penerbitan duplikat akta nikah umumnya dikenakan biaya materai resmi sebesar Rp. 30 ribu, namun tidak ada bukti penyetoran ke kas negara.
“Kalau biayanya tidak disetor, ini bisa masuk penyalahgunaan wewenang. Jelas-jelas ada potensi korupsi,” tambahnya.
Ia meminta agar penyidik Polda Sumsel segera menetapkan Ahmad Yani sebagai tersangka. Menurutnya, kesaksian Yani juga bertentangan dengan keterangan terdakwa Ernaini, termasuk siapa yang sebenarnya berkomunikasi langsung dengan H. Basir dalam proses penerbitan duplikat akta nikah.
“Ahmad Yani bilang tidak kenal H. Basir, padahal di BAP Ernaini disebut bahwa Yani yang berhubungan langsung dan memerintahkan pembuatan surat tersebut. Tidak sinkron sama sekali,” pungkas Titis.