HALOPOS.ID – Tanda-tanda akan terjadinya resesi pada tahun depan semakin santer setelah sejumlah negara mengalami perlambatan ekonomi.
Perlambatan muncul di negara-negara maju, termasuk ekonomi raksasa seperti China, Amerika Serikat dan Inggris. Resesi ini adalah konsekuensi dari terjalnya pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang salah satunya dipengaruhi oleh hantaman perang Rusia dan Ukraina.
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Asian Development Bank (ADB) telah berulang kali mengumandangkan bahaya resesi di 2023. Kini, Menteri Keuangan terbaik di dunia Tahun 2018 versi World Government Summit Dubai Sri Mulyani turut mengungkapkan tanda-tanda resesi yang makin jelas ini.
Dalam paparan APBN KITA Agustus 2022, Senin (26/9/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan dunia akan bersama-sama terjun ke jurang resesi pada 2023.
Resesi ini dipicu oleh inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.
Dia menegaskan kebijakan tersebut akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, negara berkembang pun ikut merasakan efeknya.
“Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023,” ujarnya, dalam Konferensi Pers APBN KITA Agustus, Senin (26/9/2022).
“Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut,” lanjut Sri Mulyani.
Suku bunga acuan di Inggris tercatat sebesar 2,25% atau naik 200 basis points (bps) dan AS sudah mencapai 3,25% setelah naik 300 bps. Sementara itu, AS diperkirakan akan kembali menaikkan sebesar 75 bps dan Eropa sebesar 125 bps.
“Ini kenaikan ekstrem, selama ini Eropa sangat rendah dari sisi policy rate-nya,” ujar Sri Mulyani. Pada kuartal II-2022, dia melihat pertumbuhan ekonomi China, AS, Jerman dan Inggris sudah mengalami koreksi.
Sri Mulyani melihat kondisi ini kemungkinan akan berlanjut di kuartal III dan sampai akhir tahun. “Sehingga prediksi pertumbuhan tahun ini dan tahun depan termasuk resesi mulai muncul,” ujarnya.
Sebelumnya, Bank Dunia mengungkapkan dunia berisiko menghadapi ke jurang resesi global pada 2023.
Bank Dunia menyebut, perekonomian global saat ini mengalami perlambatan paling tajam setelah pemulihan pasca resesi sejak tahun 1970. Kepercayaan konsumen global telah mengalami penurunan yang jauh lebih tajam dibandingkan resesi global sebelumnya.
Terbukti dari tiga ekonomi terbesar di dunia, Amerika Serikat, China dan kawasan Eropa telah melambat tajam. “Dalam keadaan seperti itu, bahkan pukulan moderat terhadap ekonomi global selama tahun depan dapat membawanya ke dalam resesi,” tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Senin (19/9/2022).
Perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini, menurut Bank Dunia memerlukan kebijakan countercyclical untuk melindungi aktivitas masyarakat dan ekonomi.
Melengkapi ramalan Bank Dunia, Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva ikut buka suara terkait ancaman resesi yang melanda dunia.
Dia menyebut bahwa pelemahan ekonomi itu kemungkinan besar terjadi. Kristalina mengungkapkan bahwa prospek ekonomi global telah “gelap secara signifikan” sejak April lalu. Alhasil, IMF pun prediksi pertumbuhan ekonomi global di angka 3,6% untuk tahun 2022.
Dia menyebut resesi global ini disebabkan oleh beberapa hal yang terjadi secara hampir bersamaan. Seperti penyebaran inflasi yang lebih universal, kenaikan suku bunga yang lebih substansial, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan meningkatnya sanksi terkait dengan perang Rusia di Ukraina.
Asia Terseret
Ketika hampir separuh dunia terancam jatuh ke lembah resesi, ekonomi Asia ikut terdampak. Asian Development Bank (ADB) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia dan Pasifik, di tengah meningkatnya tantangan yang mencakup peningkatan pengetatan moneter oleh bank sentral, dampak dari invasi Rusia yang berlarut-larut ke Ukraina, dan lockdown COVID-19 yang berulang di China.
Perekonomian kawasan ini diperkirakan tumbuh 4,3% tahun ini, dibandingkan dengan proyeksi ADB pada April sebesar 5,2%. Perkiraan pertumbuhan untuk tahun depan pun telah diturunkan menjadi 4,9% dari 5,3%, sementara perkiraan inflasi kawasan telah dinaikkan.
Namun, tidak termasuk China, negara berkembang lainnya di Asia diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2022 dan 2023. Hal ini dipengaruhi pertumbuhan di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang masing-masing diperkirakan tumbuh 6,5% dan 5,1-5% pada 2022 dan 2023.
Adapun, ADB mencatat inflasi di negara berkembang Asia sedang meningkat. Rata-rata tingkat inflasi di wilayah tersebut meningkat menjadi 5,3% di bulan Juli dari 3,0% di bulan Januari.
“Meski begitu, tekanan harga di negara berkembang Asia tetap lebih moderat daripada di negara maju, termasuk AS dan kawasan euro, dan sebagian besar negara berkembang,” tulis ADB dalam laporan terbarunya.
ADB mengingatkan kenaikan inflasi yang berkelanjutan tahun ini telah mendorong tingkat suku bunga bank sentral regional 2,5 poin persentase di atas rata-rata prapandemi 2015-2019, yang menunjukkan peningkatan penyimpangan dari dinamika harga yang lebih normal