HALOPOS.ID|PALEMBANG – Lima hari berturut-turut, Graha Budaya di Kompleks Taman Budaya Sriwijaya seolah tak tidur. Lampu sorot menari di atas panggung, denting musik tradisional berpadu dengan tabuhan modern, dan tepuk tangan bergemuruh setiap kali tirai tertutup.
Itulah suasana selama pementasan teater “SMB II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” produksi Komunitas Batanghari 9 (KObar 9) yang sukses menyedot perhatian publik.
Panitia pelaksana, Isnayanti dan Syafrida, mencatat angka fantastis: 3.200 penonton hadir dalam sepuluh kali pementasan. Rata-rata lebih dari 300 orang per pertunjukan — membuktikan bahwa denyut seni panggung di Palembang masih hidup, bahkan semakin menggeliat.
“Setiap kursi terisi, bahkan ada yang rela berdiri di belakang. Banyak juga penonton yang datang dua kali karena merasa belum puas,” ungkap Isnayanti, tersenyum bangga.
Produksi Ambisius, Perpaduan Seni dan Sejarah
Pementasan ini digarap oleh Fir Azwar selaku produser, dengan Vebri Al Lintani sebagai penulis naskah dan sutradara. Lebih dari 60 orang terlibat di balik layar — mulai dari aktor, pemusik, penata cahaya, hingga perancang kostum.
“SMB II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” bukan sekadar pertunjukan sejarah. Ia adalah drama kehidupan seorang pemimpin yang menolak tunduk pada penjajahan, tetapi juga manusia dengan cinta, luka, dan keyakinan.
“Kami tidak ingin menghadirkan Sultan Mahmud Badaruddin II hanya sebagai sosok di buku sejarah,” ujar Vebri Al Lintani. “Kami ingin memperlihatkan sisi manusianya — raja yang berani, tapi juga ayah, suami, dan manusia yang mengalami pengasingan dan kehilangan. Dalam pembuangannya di Ternate, api perjuangannya tidak pernah padam.”
Tokoh utama Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) diperankan dengan intens oleh Deden Sutrisno (Endet). Ia tampil dua kali setiap hari, pagi dan sore, dalam pementasan berdurasi lebih dari dua jam.
“Ada 27 halaman dialog yang harus saya hafal. Latihan berbulan-bulan, tapi setelah mendengar tepuk tangan malam terakhir, semua terbayar,” ujar Endet, dengan napas masih tersengal usai pementasan.
Dialog yang Menggetarkan Jiwa
Salah satu momen paling berkesan datang di akhir pementasan. Ketika suara musik mereda dan cahaya panggung memudar, Endet sebagai SMB II berdiri tegak, menatap ke arah penonton, dan berkata lantang:
“Melawan tidak, menyerah pun tidak. Kalian bisa menguasai ragaku, tapi tidak jiwaku yang merdeka.”
Kalimat itu disambut standing ovation panjang. Banyak penonton tampak menitikkan air mata. Sebagian bahkan menunduk haru, seolah menyadari bahwa perjuangan tidak selalu harus bersenjata — kadang, ia lahir dari keberanian mempertahankan martabat.
Harga Tiket Rakyat, Semangat untuk Semua Kalangan
Kebijakan panitia untuk mematok harga tiket rakyat turut mendorong tingginya antusiasme.
VIP: Rp250.000
Siswa SD–SMP: Rp25.000
Siswa SMA: Rp50.000
Mahasiswa & Umum: Rp60.000
Dengan tarif berjenjang ini, semua kalangan bisa menikmati seni teater — dari pelajar, mahasiswa, hingga keluarga. Tak sedikit sekolah dan kampus yang datang berombongan, menjadikan pementasan ini sebagai sarana edukatif sejarah dan karakter.
“Ini bukan hanya hiburan, tapi pelajaran hidup,” ujar seorang guru SMP yang datang bersama murid-muridnya. “Anak-anak belajar bahwa keberanian dan kejujuran itu tidak lekang oleh waktu.”
Apresiasi dari Ketua Dewan Kesenian Palembang
Salah satu sosok yang turut hadir di antara penonton adalah M. Nasir, Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP). Ia menyampaikan apresiasi mendalam terhadap kerja keras para seniman muda Palembang yang menghidupkan kembali semangat teater lokal.
“Pementasan ini membuktikan bahwa teater adalah wadah belajar tentang kehidupan,” ujar M. Nasir.
“Bukan hanya bagi seniman, atau mereka yang bergelut di dunia seni, tetapi juga bagi semua orang. Melalui akting, dialog, dan pemeranan tokoh, teater bisa membias ke mana-mana — ke relung kehidupan, pendidikan, sejarah, hiburan, bahkan kritik sosial.”
Nasir menilai pementasan ini bukan sekadar pengingat sejarah, tapi juga bentuk refleksi sosial. Ia berharap dukungan terhadap komunitas teater lokal semakin besar karena dari sanalah lahir generasi yang berpikir kritis dan berjiwa seni.