PALEMBANG – Badai Sitokin yang baru-baru ini sempat menghebohkan jagat tanah air, dan bisa berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan cepat.
Ahli Mikrobiologi Universitas Sriwijaya (Unsri), Profesor Yuwono mengaku, badai Sitokin tidak banyak ditemukan oleh sebagian orang, bahkan para dokter pun belum mengetahui kenapa badai Sitokin bisa terjadi pada orang-orang tertentu.
“Penderita Covid-19 memiliki kemungkinan untuk terkena badai Sitokin yang berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Karena Sitokin hanya menyerang 0,5 persen penderita Covid-19,” ungkap Yuwono, Selasa (24/8/2021).
Menurut Yuwono, Sitokin awalnya menyerang penderita di minggu pertama terpapar virus yang disebut flu like syndrome atau gejala-gejala yang menyerupai flu. Kemudian minggu kedua yang bisa terjadi ada dua kemungkinan.
“Diminggu kedua seperti pasien masuk fase kritis dan penderita sudah sembuh.Itulah kenapa isolasi mandiri wajib dilakukan selama 14 hari,” katanya.
Yuwono menjelaskan, meski melawan virus, Sitokin juga merusak tubuh, karena dampak paling berbahaya dari Badai Sitokin adalah pelemahan respon pengobatan. Bahkan Sitokin yang sudah keluar dianggap bagus untuk menghalangi virus, namun memiliki efek merusak tubuh sendiri.
“Dalam Sitokin ada yang dinamakan TNF Alpha. Pada orang tertentu bisa membuat badan kurus kering, seperti orang yang menderita TBC. TNF Alpha ini bisa merusak tubuh. Kenapa disebut badai Sitokin karena keluarnya cukup banyak,” jelasnya.
Saat masuk fase kritis ditandai perlawanan imunitas yang begitu kuat. Perlawanan dilakukan oleh zat dalam tubuh yang dinamai Sitokin, utamanya adalah Interlukim 6 atau IL6. Pada perlawanan yang begitu tinggi, zat Sitokin berproduksi cukup banyak di dalam tubuh.
“Kondisinya tumpah ruah. Zat ini berperang melawan virus yang masuk ke dalam tubuh. Perang antara Sitokin dan virus membuat tubuh dalam keadaan tak kuat. Gejalanya seperti bisa hipertensi dan kesadaran menurun. Orang itu bisa teler atau koma. Lalu suhu badannya juga bisa menurun, agak dingin atau demam tinggi sampai 42 derajat,” jelas dia.
Dikatakan Yowono, pengobatan Sitokin memakan harga ratusan juta, bahkan untuk biaya obatnya sendiri bisa mencapai Rp13 juta untuk sekali penyuntikan. Para dokter biasanya memberikan obat antibody monokronal seperti Actemra yang sempat langka beberapa waktu lalu.
Selain itu, metode lainnya adalah terapi plasma, kemudian diberikan obat tiroid untuk meredakan badai tersebut, di samping alat bantu lain seperti ventilator.
“Mengatasi Badai Sitokin diperlukan pengobatan yang cukup mahal. Orang yang terkena Badai Sitokin bisa beberapa kali suntik antibody monokronal, sehingga total biaya obatnya saja bisa mencapai Rp150-Rp160 juta,” terangnya.