SUMSEL  

Sejarahwan Minta Dilibatkan Dalam Kebijakan Budaya

Diskusi Serius Bertema (RE) Aktualisasi Jatidiri dan Nilai-nilai Keluhuran Sumatera Selatan yang di selenggarakan oleh Fakultas FISIP Universitas Sriwijaya, di Hotel Swarna Dwipa, Minggu (19/6).
Diskusi Serius Bertema (RE) Aktualisasi Jatidiri dan Nilai-nilai Keluhuran Sumatera Selatan yang di selenggarakan oleh Fakultas FISIP Universitas Sriwijaya, di Hotel Swarna Dwipa, Minggu (19/6).

HALOPOS.ID|PALEMBANG – Pemerintah daerah acap kali mengabaikan nilai keluhuran sejarah dan budaya Sumatera Selatan (Sumsel) dalam menentukan arah kebijakan yang akan diambil. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kebijakan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang tengah dijalankan.

Seperti penetapan Peraturan Daerah (Perda) No 2/2021 tentang Arsitektur Bangunan Gedung Berornamen Jati Diri Budaya di Sumatera Selatan. Penerapan ornamen khas Sumsel yang selama ini diaplikasikan dan disosialisasikan Pemprov Sumsel adalah tanjak. Padahal, tanjak sendiri hanya identik dengan satu daerah yakni Kota Palembang.

“Di OKU Timur itu namanya beda lagi. Begitu juga daerah lainnya. Artinya tidak bisa diidentikkan tanjak itu merupakan khas seluruh daerah Sumsel. Itu hanya Kota Palembang,” kata Budayawan Sumsel, Erwan Suryanegara saat menjadi narasumber Diskusi Serius Bertema (RE) Aktualisasi Jatidiri dan Nilai-nilai Keluhuran Sumatera Selatan yang di selenggarakan oleh Fakultas FISIP Universitas Sriwijaya, di Hotel Swarna Dwipa, Minggu (19/6).

Seharusnya, kata Erwan, sebelum menentukan kebijakan, pemerintah bisa berdiskusi terlebih dahulu dengan sejarawan, budayawan, tokoh masyarakat, pemangku adat dan lain sebagainya. Apalagi, kebijakan itu mengatur mengenai budaya masyarakat setempat.

Dia mengatakan, hal lainnya yang juga tak kalah penting dan menjadi isu hangat setiap tahunnya yakni penetapan HUT Kota Palembang. Menurutnya, Walikota Palembang saat itu Tjek Yan membentuk tim untuk merumuskan HUT Palembang. Penentuannya didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit  16 Juni. Hanya saja, mereka memiliki pemikiran lain.

“16 Juni kata mereka itu sudah malam hari  16 Juninya sehingga terbaca 17 Juni, selain itu 17 itu katanya  17 rakaat jadi semuanya menjadi asumsi, prasasti yang faktual diasumsikan menjadi 17 Juni, kalau mau konsisten berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit itu menjadi 16 Juni 604 atau 682 Masehi sehingga hitungannya 1340,” terangnya.

Sejarawan Universitas Sriwijaya (Unsri)  Dedi Irwanto menuturkan, tanggal hari jadi Kota Palembang 17 Juni dinilainya keliru dan betul-betul ngawur. “Memang betul itu dibentuk awalnya oleh tim perumus dan tim perumus merumuskan ada empat opsi yang dipilih, jadi kemudian yang dipilih nomor 1 dan dalam perumusan  16 Juni sudah di sepakati bersama, bahkan ketika ketika ada rapat akbar di rumah Bari dan menghadirkan sejarawan Unsri  Makmun Abdullah, beliau mengatakan 16 Juni ,” katanya.

Kepala Laboratorium Sejarah FKIP Unsri ini menjelaskan HUT kota Palembang tersebut mulai bergeser  di zaman Gubernur Sumsel Asnawi Mangkualam. Ketika berpidato di Bukit Seguntang  menyebut 17 Juni. Sehingga, SK yang keluar 17 Juni.

“Tapi kan ada celah jika salah bisa direvisi. Nah, kita agak lalai merevisi itu. Sebenarnya, beberapa kota seperti Surabaya, Makassar itu pernah ada kesalahan. Dan mereka merevisi itu,” terangnya.

Ketua DPRD Palembang Zainal Abidin mengatakan, masukan dari sejarawan, budayawan dan tokoh lainnya tentu akan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah baik legislative maupun eksekutif dalam menentukan kebijakan.

“Terutama yang kaitannya dengan sejarah, budaya serta nilai keluhuran daerah. Ini tentu akan kami berikan ruang diskusi yang lebih komprehensif,” terangnya.

Mengenai polemik tanggal HUT Kota Palembang, kedepannya akan jadi bahan diskusi bagi DPRD Kota Palembang bersama Pemkot Palembang.

Antropolog  yang juga Dosen Fisip Unsri, Dadang H Purnama Hum menilai identitas budaya bukan sesuatu yang selesai. Namun,  terus berproses di tengah tantangan yang muncul di masyarakat.

“Disini penting bagaimana identitas kebudayaan itu, bisa terwujud terutama di Sumsel tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang berkembang yang berasal bisa dari nilai-nilai Sriwijaya ataupun  kebudayaan sungai seperti di Sumsel,” tandasnya. (NT)

Editor : Herwan.