76 Tahun Merdeka, Erosi Liga dan Timnas Indonesia

JAKARTA – Bangsa Indonesia sudah menapaki usia berlian sudah merdeka 76 tahun pada 2021 ini. Namun, pamor liga sepak bola dan Timnas Indonesia masih jalan di tempat jika tidak mau disebut mengalami kemunduran.

Sepak bola yang dalam istilah Tan Malaka disebut sebagai alat perjuangan, belum bisa membawa nama nusantara harum di pentas dunia. Jangankan harum, saat ini Timnas Indonesia berada di papan bawah FIFA, yakni peringkat ke-174 dari total 211 negara.

Sejak tumbangnya Soeharto pada 1998 dalam gerakan yang disebut reformasi kualitas Timnas Indonesia turut menurun. Indonesia yang bertengger di peringkat ke-76 pada 1998 terus melorot. Puncaknya pada 2015: diembargo FIFA buntut dari intervensi pemerintah.

Reinkarnasi PSSI dan Timnas Indonesia setelah lepas dari sanksi FIFA pada 2016, belum berbuah. Belum ada serum jitu yang bisa membuat Garuda Merah Putih berbicara lantang di pentas kawasan, seperti Piala AFF dan SEA Games.

Pada ajang Pra Piala Dunia 2022 misalnya, Indonesia jadi bulan-bulanan. Bergabung bersama Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Uni Emirat Arab, Indonesia tersingkir paling cepat setelah menelan lima kekalahan beruntun. Kondisi Timnas Indonesia sangat payah.

Pandemi Covid-19 makin melumpuhkan kompetisi dan timnas yang sudah payah tersebut. Kompetisi tak bisa digulirkan sejak Maret 2020 dan hingga kini belum juga bergulir. Upaya PSSI meningkatkan harkat dengan mengontrak pelatih jebolan Piala Dunia, Shin Tae Yong, belum bertuah.

Malah sejak datang pada akhir 2019, Shin Tae Yong berkali-kali ribut dengan pengurus PSSI. Ia bersitegang dengan Indra Sjafri sebelum ditunjuk menjadi Direktur Teknik, juga dengan Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan. Terbaru, Shin berpisah dengan tiga asistennya karena perbedaan prinsip.

Kim Hae Woon, Lee Jae Hong, dan Kim Woo Jae mundur menjelang persiapan play-off Pila Asia 2023 melawan Taiwan. Ini bukan yang pertama. Sebelumnya, yakni pada akhir tahun 2020 asisten pelatih Gong Oh Kyun juga mundur dengan alasan yang sama.

Program pemusatan latihan Timnas Indonesia pun kerap mundur. Untuk persiapan play-off Piala Asia 2023 misalnya, hingga kini tak jelas kapan karena Shin Tae Yong tak kunjung kembali ke Indonesia.

Daftar nama pemain yang akan dipanggil pun tak kunjung dirilis, lantaran menunggu pelatih asal Korea Selatan itu tiba di Indonesia pada 18 Agustus.

Daftar nama pemain Timnas Indonesia yang dipanggil Shin juga selalu jadi perdebatan. Tanpa kompetisi membuat nama daftar panggil jadi bias.

Selain didominasi pemain usia muda jebolan Indonesia U-19, ada beberapa nama yang dianggap tak sesuai ekspektasi. Salah satu contoh kasus adalah Nurhidayat Haji Haris yang dipanggil Timnas Indonesia ke Kualifikasi Piala Dunia 2022 meski tak bermain di turnamen pramusim Piala Menpora.

Setelah bergabung dengan Timnas Indonesia di Uni Emirat Arab, Nurhidayat justru dipulangkan Shin Tae Yong ke Indonesia karena indisipliner.

Satu frekuensi dengan Timnas Indonesia, kondisi kompetisi atau liga di negeri berpulau-pulau ini pun mengecewakan. Kualitas kompetisi dan klub terus merosot jika diukur dengan performa di pentas kontinental, yakni Piala AFC atau kasta kedua di Benua Asia.

Dalam dua tahun ke depan atau sudah musim lima musim terakhir setelah dihukum FIFA, Indonesia tak punya wakil langsung di Liga Champions Asia karena kalah poin koefisien di AFC dari negara lain.

Kali terakhir Indonesia mengirimkan wakil di Liga Champions Asia pada 2011, dengan Arema FC yang kandas di fase grup.

Tanpa wakil ini jadi ironi, sebab jumlah kontestan Liga Champions bertambah dari 32 menjadi 40. Bahkan klub-klub dari negara-negara seperti Singapura dan Filipina bisa ambil bagian dari penambahan peserta itu.

Penyebab lain adalah nasib kompetisi yang serba tak pasti. Dalam setiap musim sejak 2016 atau usai dihukum FIFA, tidak hanya dalam situasi pandemi seperti saat ini, operator kompetisi bergelut dengan aparat kepolisian untuk izin keamanan. Saat ada agenda politik, liga sepak bola ‘dimatikan’ sementara.

Jika dibandingkan dengan era awal-awal Liga Indonesia pada 1994, situasi sepak bola saat ini bukan lagi jalan di tempat, tetapi kemunduran.

Mimpi Liga Indonesia jadi industri layaknya di Eropa atau jadi aset bangsa seperti Jepang dan Korea Selatan, hanya ilusi pemanis bibir.

Buktinya, izin keramaian polisi selalu sulit didapat. Bahkan, sampai saat PSSI dipimpin purnawirawan polisi, bekerja sama dengan Satgas Anti Mafia Bola, dan operator kompetisi diisi mantan petinggi Polri, hasilnya sama: izin kompetisi dari kepolisian terlalu sulit didapat.

Dasar-dasar kompetisi sepak bola Indonesia yang dibangun mantan pengelola Liga Indonesia, Andi Darussalam Tabussala dan Joko Driyono, juga macet. Konsep dan tatanan sepak bola Indonesia makin jauh dari situasi ideal, dengan beragam kompromi yang sulit dinalar.

Untuk jadwal kompetisi Liga 1 2021/2022 yang akan dimulai pada 27 Agustus misalnya, hingga kini belum keluar. PT Liga Indonesia Baru malah membuat pernyataan bahwa jadwal akan diumumkan sepekan sebelum kick-off. Ini anomali yang dinormalisasi.

Bandingkan dengan sepak bola di Eropa yang sudah merilis jadwal musim ini pada musim sebelumnya. Bahkan, kompetisi sepak bola di Thailand dan Malaysia juga lebih rapi.

Inilah kondisi sepak bola Indonesia: kompetisi dan timnasnya. Dalam HUT RI ke-76, sepak bola Indonesia terus menerus digerus erosi. Bahkan, pembangunan manusia sepak bola Indonesia juga turut tergerus budaya anti-disiplin atlet.

Respon (3)

  1. I see You’re truly a good webmaster. This website loading velocity is amazing.
    It kind of feels that you are doing any unique trick. Moreover, the
    contents are masterwork. you’ve done a fantastic task on this subject!
    Similar here: dyskont online and
    also here: Ecommerce

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *