Kebebasan Berpendapat di Era Digital

Dr. Muhammad Zamzam Fauzanafi, S.Ant., M.A yang merupakan Dosen Jurusan Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), saat menjadi dosen tamu di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Jumat (11/10)
Dr. Muhammad Zamzam Fauzanafi, S.Ant., M.A yang merupakan Dosen Jurusan Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), saat menjadi dosen tamu di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Jumat (11/10)

HALOPOS.ID|PALEMBANG – Dr. Muhammad Zamzam Fauzanafi, S.Ant., M.A, Dosen Jurusan Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan pandangannya mengenai dilema yang dihadapi masyarakat di era digital saat ini. Menurutnya, terdapat pertentangan yang signifikan antara kebebasan berpendapat dan pembatasan yang diberlakukan melalui berbagai aturan.

Dalam pemaparannya, Dr. Zamzam menggarisbawahi pentingnya memahami konsep “freedom of expression” atau hak warga untuk mengekspresikan pendapat mereka. Namun, ia mencatat bahwa di Indonesia, undang-undang yang ada, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ETE), tidak selalu mendukung kebebasan ini.

“UU ETE memang bisa digunakan untuk mengatur perilaku yang beradab di dunia maya, tetapi juga sering disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis.” katanya saat menjadi dosen tamu di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Jumat (11/10).

Hadir diantaranya Wakil Dekan I Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang, Dr Amilda Mhum dan jajaran , mahasiswa SI dan S2 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang.

Lebih lanjut, ia mengkritik cara UU ETE diterapkan, di mana seringkali kritik dianggap sebagai penghinaan.

“Antara kritik dan penghujatan sering kali bercampur baur. Akibatnya, orang yang mencoba menyampaikan kritik bisa dianggap menghina, dan undang-undang ini lebih banyak digunakan untuk menekan kritik daripada untuk mengatur perilaku yang baik di internet,” kata akademisi yang aktif meneliti dan mengkaji berbagai isu sosial dan budaya, terutama yang berkaitan dengan perkembangan digital dan kebebasan berekspresi ini.

Dia juga menyoroti kesulitan dalam menggunakan piranti hukum untuk menciptakan masyarakat yang tertib. Ia mengusulkan bahwa solusinya bukan terletak pada hukum, melainkan pada pengembangan literasi digital.

““ Yang paling bisa dilakukan , itupun tidak akan menyeluruh , apa yang disebut sebagai digital literasi, digital literasi itu harus diajarkan sejak kecil dari sejak TK, SD, itu harus ada, apa itu digital literasi , bukan hanya bertindak secara beradab dan mengikuti norma dalam beraktivitas didalam digital juga ikut memahami konsekuensi apa yang mengancam dia sendiri, misalnya soal privasi , pengambilan data , atau kalau kita mendoksin apa konsekuensinya kepada orang yang menyebarkan informasi privat orang lain ,” katanya.

Menurutnya, pendekatan yang ada saat ini, seperti program yang dijalankan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), belum efektif

“ Sudah dibuat modul dan modul itu tidak pernah di pakai untuk di pangajaran dan yang terjadi adalah digital literasi Kominfo sekarang dijadikan kayak seminar , yang ngomong ahli digital dan para pejabat ikut ngomong ,” katanya.

Lebih lanjut, Dr. Zamzam menyoroti Festival Digital Literasi di Yogyakarta dan Indonesia umumnya , yang menurutnya lebih berfokus pada pertunjukan musik ketimbang edukasi.

“Festival ini seharusnya menjadi wadah untuk meningkatkan pemahaman tentang literasi digital, tetapi kenyataannya diisi lebih banyak oleh pertunjukan band,” katanya.

Ia menekankan bahwa seharusnya digital literasi dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan.

“Buku dan modul untuk mengajarkan digital literasi sebenarnya sudah tersedia dan dapat diunduh secara gratis. Namun, sayangnya, kesempatan ini belum dimanfaatkan secara maksimal dalam sistem pendidikan kita,” tutupnya.

Dengan pandangan ini, Dr. Muhammad Zamzam Fauzanafi berharap agar semua pihak lebih serius dalam menangani dilema kebebasan berpendapat di dunia digital, serta memperkuat edukasi literasi digital untuk menciptakan masyarakat yang lebih sadar akan hak dan tanggung jawab mereka di era informasi ini.

Sedangkan Wakil Dekan I Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang Dr Amilda Mhum mengapresiasi kegiatan tersebut.

Dia mengajak mahasiswa SI dan S2 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang untuk bersama-sama belajar satu materi penting ini dan dia berharap lahir skripsi yang lahir tentang digital .

“ Kita ada dosen tamu, dan saya pilih orang muda yang punya pandangan tentang sesuatu yang kita pelajari dalam perspektif yang lebih moderen , lebih maju, lebih terkini, saya memenuhi keinginan kalian untuk belajar tahu tentang kebudayaan dan digital,” katanya.

Dan dia mengajak kalangan mahasiswa untuk melihat bagaimana kemasan kebudayaan digital tersebut. (AD)